Mohon tunggu...
rafi bayu
rafi bayu Mohon Tunggu... Content Creator, Copywriter, Content writer, & Blogger

Halo, aku Rafi! Aku punya hobi travelling dan suka menuliskan pengalaman maupun ide seputar tips belajar, teknologi, dan life tips. Selain menulis blog, aku juga aktif bikin konten di TikTok dengan fokus utama pada dunia belajar dan produktivitas. Buatku, berbagi insight kecil yang bisa bermanfaat buat orang lain adalah cara sederhana untuk terus berkembang bareng.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Wild in Crisis: Konflik Gajah dan Manusia di Aceh yang Tak Kunjung Usai

18 September 2025   13:35 Diperbarui: 18 September 2025   13:35 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto Gajah di Hutan (Sumber: unplash.com/dr_vimaljv)

Suatu malam di Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie, warga terbangun karena suara gaduh dari arah perkebunan. Seekor gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) terlihat masuk ke ladang warga. Sebagian pohon pisang roboh, tanaman padi hancur, dan suara terompet khas gajah membuat suasana semakin panik. Bagi gajah, itu hanyalah usaha untuk mencari makan. Namun, bagi warga, kehadiran hewan berbadan besar itu adalah ancaman nyata terhadap mata pencaharian mereka.

Di satu sisi, gajah hanya mempertahankan hidupnya. Tetapi di sisi lain, warga merasa terancam dan merugi. Pertanyaan yang menggantung adalah: siapa sebenarnya yang bersalah dalam konflik ini?

Aceh tercatat sebagai provinsi dengan konflik gajah--manusia paling tinggi di Indonesia. Selama periode 2005--2020, setidaknya terjadi 647 kasus konflik, atau rata-rata 76 kasus per tahun. Situasi ini semakin mengkhawatirkan pada tahun 2021, ketika terjadi lonjakan konflik hingga 488 kasus hanya dalam satu tahun.

Padahal, Aceh masih menjadi habitat penting bagi gajah Sumatra. Populasinya diperkirakan hanya tersisa sekitar 1.100 ekor di alam liar. Status gajah Sumatra saat ini berada dalam kategori Critically Endangered menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), yang berarti sangat kritis dan berada di ambang kepunahan.

Konflik ini tidak muncul begitu saja. Ada beberapa penyebab utama yang mendorong meningkatnya interaksi negatif antara gajah dan manusia:

1.Deforestasi dan Alih Fungsi Lahan
Perambahan hutan untuk perkebunan kelapa sawit, karet, maupun tambang mengurangi ruang jelajah gajah. Akibatnya, gajah terdorong keluar dari habitat aslinya.

2.Pemukiman dan Perluasan Lahan Pertanian
Pembangunan yang masuk ke kawasan hutan mempersempit jalur migrasi gajah. Kawasan yang dulu menjadi jalur alami kini berubah menjadi perkampungan atau ladang masyarakat.

3.Rantai Makanan Gajah yang Terganggu
Hilangnya vegetasi alami membuat gajah kesulitan mencari makan. Mereka akhirnya mencari sumber pangan alternatif di lahan warga.

4.Perburuan dan Penebangan Liar
Selain habitat yang rusak, gajah juga menghadapi ancaman perburuan. Tindakan ini menambah tekanan terhadap populasi yang sudah kritis.

Konflik gajah dan manusia membawa dampak serius, baik bagi satwa maupun warga:

1. Bagi Gajah
Banyak gajah terbunuh karena diracun, terkena pagar listrik, atau sengaja diburu. Ada pula yang terluka parah hingga tidak dapat bertahan hidup. Hal ini mempercepat penurunan populasi gajah yang sudah berada di ambang kepunahan.

2. Bagi Warga
Lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber ekonomi hancur. Beberapa kasus bahkan menimbulkan korban jiwa. Secara sosial, ketakutan terhadap gajah membuat hubungan warga dengan satwa ini semakin tegang.

3. Bagi Ekosistem
Gajah adalah spesies kunci dalam ekosistem hutan. Kehilangannya akan berdampak besar terhadap keberlangsungan hutan Aceh. Gajah berperan sebagai penyebar biji dan penjaga keseimbangan ekosistem. Jika mereka punah, hutan menjadi lebih rapuh dan rentan.

Meski masalah ini pelik, berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah, lembaga konservasi, hingga masyarakat.

1.Pemasangan Pagar Listrik
Salah satu langkah nyata adalah kolaborasi antara BKSDA Aceh dan Fauna & Flora International (FFI). Mereka memasang pagar kejut listrik sepanjang 6,5 km di Gampong Blang Dalam. Pagar ini terbukti mampu mengurangi frekuensi konflik secara signifikan, meski efektivitasnya sangat bergantung pada pemeliharaan rutin, dukungan dana, dan partisipasi warga.

2.Patroli dan Tim Mitigasi
Program "flying squad" melibatkan gajah terlatih untuk menghalau gajah liar agar tidak memasuki permukiman. Selain itu, patroli rutin dilakukan untuk memantau pergerakan gajah dan mencegah serangan mendadak.

3.Edukasi Masyarakat
Sosialisasi mengenai perilaku gajah dan pentingnya konservasi terus digalakkan. Warga dilatih menggunakan metode pengusiran berbasis suara, bau, atau menara pantau agar dapat menghalau gajah tanpa menyakiti mereka.

4.Pemulihan Habitat
Reforestasi atau penanaman kembali pohon endemik dilakukan untuk memperbaiki daya dukung hutan. Semakin baik kualitas habitat, semakin kecil kemungkinan gajah masuk ke lahan warga.

5.Sistem Peringatan Dini
Teknologi berbasis sensor dan notifikasi mulai dikembangkan untuk memberikan peringatan kepada warga ketika ada pergerakan gajah di sekitar pemukiman.

6.Pendekatan Sosial dan Kebijakan
Penyelesaian konflik tidak hanya menyangkut habitat, tetapi juga kesepahaman masyarakat. Perlu kesadaran kolektif bahwa gajah bukan musuh, melainkan bagian dari warisan alam. Pemerintah dan NGO harus memastikan bahwa kawasan habitat gajah tidak lagi dipakai untuk perkebunan atau pemukiman baru.

Konflik antara gajah dan manusia di Aceh adalah potret nyata krisis satwa liar di Indonesia. Gajah tidak datang untuk menyerang, melainkan karena habitat mereka hilang dan sumber makanannya berkurang.

Krisis ini bukan hanya soal gajah yang terancam punah, tetapi juga soal masa depan hutan kita. Hutan yang rusak akan berdampak pada iklim, keanekaragaman hayati, hingga kehidupan manusia sendiri.

Jika kita terus mengabaikan masalah ini, generasi mendatang mungkin hanya bisa mengenal gajah Sumatra dari buku atau foto. Maka pertanyaannya: kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi?

Sumber:
https://jurnal.stikpantekulu.ac.id/index.php/phsda/article/view/4
https://bansigom.org/Jurnal/index.php/Bansigom_JKA/article/view/118
Balai Konservasi Sumberdaya Alam Aceh (2020) dalam An Update On Human Elephant Conflict in Aceh, Indonesia.
Leuser International Foundation (2021).
Data Auriga Nusantara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun