Masyarakat kita di Indonesia mungkin memahami ego sebagai pusat diri. Freud memahami ego sebagai bagian dari struktur pikiran (structure of mind), yang terdiri dari id (naluri dasar yang primitif), superego (komponen moral dan etika), dan ego sebagai penjembatan keduanya.Â
(Contoh sederhana: id membuat kita merasa lapar, superego mempertimbangkan "tapi kan ini bulan puasa" atau "tapi ini kan lagi rapat", dan ego menengahi keduanya. Mau bagaimanapun juga, kadang-kadang kita memang harus makan dan di waktu lain kita perlu mempertimbangkan apakah etis jika kita makan di waktu dan tempat tertentu).
Jadi, ego adalah komponen sadar yang apabila ego tidak mampu menyeimbangkan id dan superego maka 1) kita mungkin selalu menuruti naluri dasar kita, atau 2) kita selalu memaksakan diri memenuhi moralitas sampai tidak memenuhi naluri dasar kita. Dari sini, akan muncul konflik dalam diri kita.
Di teori analisis transaksional, ego disebutkan memiliki 3 keadaan, atau ego states.
Ego states ini mendasari berbagai pola pikiran, perasaan, dan perilaku yang kita alami dalam situasi berbeda. Ego state ini seperti bagian berbeda dari kepribadian kita yang muncul sebagai respons terhadap keadaan atau pemicu tertentu.
Dalam analisis transaksional, ada tiga ego states utama: Parent, Adult, dan Child. Setiap keadaan ego dikaitkan dengan serangkaian karakteristik pikiran, emosi, dan perilaku.Â
Memahami dan mengenali ego state ini dapat membantu kita mendapatkan wawasan tentang reaksi dan interaksi kita sendiri dengan orang lain.
Kadang kita berada dalam ego state Parent, atau kadang mungkin Adult, atau mungkin lebih sering Child.
Kenapa kita harus memahami kita sedang berada dalam ego state apa dan lawan bicara kita sedang dalam ego state apa?
Begini, asumsikan jika kita berada dalam ego state Parent dan berusaha memberi tahu seseorang bahwa dia melakukan kesalahan dengan cara orang tua memberitahukan sesuatu pada anaknya, padahal lawan bicara kita juga berada dalam ego state Parent yang inginnya memberi tahu, bukan diberi tahu.
Atau, misalnya lawan bicara kita berada dalam ego state Child yang ingin diayomi, tapi kita berada dalam ego state Adult yang inginnya berdiskusi layaknya orang dewasa.