Mohon tunggu...
Putu Rejaya
Putu Rejaya Mohon Tunggu... Perantau di Negeri Sakura, Penulis di Antara Realita dan Refleksi

Aku menulis untuk tidak hilang di antara dunia yang terlalu ramai. "Namaku Bukan Angin" adalah jejakku di antara cerita-cerita kecil tentang kehilangan, pencarian, dan pulang. Aku juga berbagi kisah nyata tentang perantauan, rasa asing, dan harapan dari sisi-sisi yang jarang diceritakan dari sudut pandang yang sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

"Ketika Palu dan Paku Menari"

12 April 2025   09:50 Diperbarui: 12 April 2025   09:50 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Aku muak menjadi kekuatan yang hanya dikenal karena luka yang kutinggalkan. Semua orang menyalahkanku karena pukulan, tapi tak ada yang tahu kalau aku hanya alat, digerakkan oleh tangan yang tak selalu tahu arah."

Paku menimpali, tajam dan getir:

"Dan aku? Aku menusuk karena dipaksa. Aku menembus kayu bukan karena keinginanku, tapi karena itulah satu-satunya cara aku bisa bertahan di dunia yang ingin segalanya menyatu, tapi tak pernah mau merasakan sakitnya."

Kayu akhirnya bersuara, serak dan penuh sesak:

"Kalian tak pernah tahu rasanya jadi aku. Menyerap semuanya, pukulan, tusukan, beban. Aku tak punya kekuatan untuk menolak, hanya bisa patah dalam diam, atau diam dalam patah."

Dan malam itu, bengkel menjadi panggung bagi pemberontakan kecil, antara kekuatan, pengikat, dan penerima. Tak ada yang menang. Tak ada yang kalah. Hanya luka yang akhirnya berkata jujur.

Sang tukang kayu hanya mendengarkan. Lama. Diam. Lalu ia berkata pelan, bukan untuk menengahi, tapi untuk mengingatkan.  "Kalian memang menyakiti satu sama lain, tapi tanpamu, Palu, tak ada yang bergerak. Tanpamu, Paku, tak ada yang menyatu. Tanpamu, Kayu, tak ada yang bisa ditopang."

Lalu pagi datang. Tidak sebagai jawaban, tapi sebagai undangan untuk mulai lagi.

Palu mulai mengayun kembali, tapi kini dengan rasa hormat. Paku kembali menancap, tapi kini dengan kesadaran. Kayu menerima, bukan karena lemah, tapi karena tahu semua luka bisa jadi bentuk cinta yang lain.

Dan dari situ, lahirlah sebuah karya baru. Sebuah bangku kecil, sederhana, di bawah pohon tua. Tempat orang bisa duduk dan mendengar bagaimana luka-luka itu bicara, bukan untuk menyakiti,
tapi untuk mengingatkan kita bahwa hidup tak selalu lembut, tapi bisa jadi utuh jika kita saling memahami.

Pada suatu sore yang berwarna tembaga, tukang kayu itu menatap tumpukan papan yang baru datang. Bau basah tanah masih menempel di serat-serat kayu, seperti kenangan yang belum sempat mengering.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun