"Aku muak menjadi kekuatan yang hanya dikenal karena luka yang kutinggalkan. Semua orang menyalahkanku karena pukulan, tapi tak ada yang tahu kalau aku hanya alat, digerakkan oleh tangan yang tak selalu tahu arah."
Paku menimpali, tajam dan getir:
"Dan aku? Aku menusuk karena dipaksa. Aku menembus kayu bukan karena keinginanku, tapi karena itulah satu-satunya cara aku bisa bertahan di dunia yang ingin segalanya menyatu, tapi tak pernah mau merasakan sakitnya."
Kayu akhirnya bersuara, serak dan penuh sesak:
"Kalian tak pernah tahu rasanya jadi aku. Menyerap semuanya, pukulan, tusukan, beban. Aku tak punya kekuatan untuk menolak, hanya bisa patah dalam diam, atau diam dalam patah."
Dan malam itu, bengkel menjadi panggung bagi pemberontakan kecil, antara kekuatan, pengikat, dan penerima. Tak ada yang menang. Tak ada yang kalah. Hanya luka yang akhirnya berkata jujur.
Sang tukang kayu hanya mendengarkan. Lama. Diam. Lalu ia berkata pelan, bukan untuk menengahi, tapi untuk mengingatkan. Â "Kalian memang menyakiti satu sama lain, tapi tanpamu, Palu, tak ada yang bergerak. Tanpamu, Paku, tak ada yang menyatu. Tanpamu, Kayu, tak ada yang bisa ditopang."
Lalu pagi datang. Tidak sebagai jawaban, tapi sebagai undangan untuk mulai lagi.
Palu mulai mengayun kembali, tapi kini dengan rasa hormat. Paku kembali menancap, tapi kini dengan kesadaran. Kayu menerima, bukan karena lemah, tapi karena tahu semua luka bisa jadi bentuk cinta yang lain.
Dan dari situ, lahirlah sebuah karya baru. Sebuah bangku kecil, sederhana, di bawah pohon tua. Tempat orang bisa duduk dan mendengar bagaimana luka-luka itu bicara, bukan untuk menyakiti,
tapi untuk mengingatkan kita bahwa hidup tak selalu lembut, tapi bisa jadi utuh jika kita saling memahami.
Pada suatu sore yang berwarna tembaga, tukang kayu itu menatap tumpukan papan yang baru datang. Bau basah tanah masih menempel di serat-serat kayu, seperti kenangan yang belum sempat mengering.