Apa yang dilakukan warga desa mungkin terlihat sederhana: alarm bambu, tanaman penghalau, ladang alternatif. Namun di balik itu, tersimpan pesan universal. Mereka memilih untuk tidak menambah luka pada bumi dengan kekerasan. Mereka memilih jalan damai, meskipun jalannya lebih terjal. Dan dari pilihan itu, lahirlah sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar mencegah kerugian panen: lahir rasa hormat kepada kehidupan.
Kisah ini bisa menjadi inspirasi dunia. Di banyak belahan bumi, konflik manusia-satwa terus berlangsung: singa di Afrika, beruang di Amerika, serigala di Eropa. Pola besarnya sama---habitat menyusut, satwa mencari makan di wilayah manusia, lalu timbul ketegangan. Namun desa ini membuktikan, bahwa kita tidak harus selalu mengulang pola lama: satwa masuk, manusia menyerang, lalu satwa punah sedikit demi sedikit. Ada jalan lain, jalan yang lebih beradab.
Jika kita mampu melihat satwa bukan sebagai musuh, melainkan sebagai mitra yang sama-sama menjaga keseimbangan, maka coexistence bisa menjadi kunci untuk masa depan. Bukan hanya bagi satwa, tetapi juga bagi kita sendiri. Karena ketika gajah hilang, hutan ikut rapuh. Dan ketika hutan rapuh, manusia pun kehilangan sumber air, udara, dan pangan.
Harmoni sejati lahir bukan dari siapa yang paling kuat, melainkan dari siapa yang paling mampu menghargai. Warga desa di Sumatera itu telah memberi contoh: kekuatan sejati manusia bukanlah dalam menaklukkan alam, melainkan dalam menjaga keseimbangannya.
Maka, pesan global dari kisah ini jelas: jika sebuah desa bisa memilih berdamai dengan gajah, mengapa dunia tidak bisa?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI