Malam merapat, menutup mata bumi,
membiarkan dingin menari di sela tulang.
Seorang anak terhuyung  di pelukan sepi,
menatap langit kamar kelam, tak terbayang.
Tak ada pelukan merajut air mata,
tak ada suara menghalau resah.
Hanya gema luka mendesis, menggema,
membentur hati hingga retaknya pasrah.
Hari berlari tanpa riang, tanpa guru,
mengajarinya makna kehilangan yang bisu.
Ia tahu senyum bisa menjelma sembilu,
dan kata "cinta" adalah pintu
yang tak pernah terbuka untuknya.
Pintu hatinya terkunci rapat,
dirantai kecewa, disemen takut.
Diamnya bukan tenang yang hangat,
melainkan jerit yang membatu di sudut.
Semakin ia sembunyi di balik tirai,
semakin dunia memberinya cap yang salah.
Introvert, kata mereka enteng, usai.
Padahal ia hanya menjaga nyala yang tinggal separuh nyalah.
Di antara runtuhan diri, ia duduk membisu,
tak lagi percaya, tak lagi menunggu.
Namun di celah puing yang dingin dan kaku,
ada bisik  kecil lirih, nyaris tak terdengar, bahwa mungkin suatu hari...
ada  yang datang,
duduk di ambang,
menenun keberanian dari sisa-sisa
yang pernah berserak di hatinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI