Aku lahir dalam citra dan gambaran Allah yang asli namun aku menjadi mati dalam sifatku yang cenderung meniru sifat orang lain yang belum tentu pas atau bisa kulakukan. Aku pun tak jarang menolak atas diriku. Aku hanya ingin seperti hujan. Karena hujan apa adanya memberi untuk semua nafas kehidupan. Tetapi mampukah aku seperti hujan?
Aku terkadang asing bagi diriku sendiri dan cenderung menjadi fotocopi dari orang lain. Aku tak ubah seperti sering menyangkal diri tentang keberanianku untuk percaya pada kemampuan diriku, ataupun terkadang pula, aku sering meremehkan diriku hingga kaku dan ragu untuk merubah.
Aku sudah semakin terkontaminasi oleh pikiran-pikiran yang masuk dari arus informasi yang semakin sulit ku saring karena datang silih berganti saban waktu hingga lupa diri.
Aku ingin seperti hujan, tetapi aku sadar aku pasti tak sanggup seperti hujan dan aku hanya berangan seperti hujan.
Sebab aku ingat, aku pasti tak mampu seperti hujan yang selalu memberikan kesejukan. Memberikan kesegaran, memberikan nafas kehidupan. Sedangkan aku hanyalah aku, yang jarang peduli pada diri dan sesama. Aku sering egois diri dan tak jarang menyakiti orang lain serta kehidupan.
Aku dan hujan, sudah pasti tak sama. Tetapi aku selalu berandai-andai ingin seperti hujan. Sanggupkah aku menyejukan seperti angin segar temannya hujan yang selalu memberikan kabar tentang semua pesan tentang harmoni dan damai, bukan intoleran, bukan memecah belah atau sumpah serapah. Seingatku, hujan pun ingin selalu tak sabar meneteskan tetesannya untuk menghapus debu yang menempel pada dinding-dinding penyekat yang sudah sulit terpisah, semakin lengket dan menempel.
Aku yang sering gaduh, mengaduh tak tenang seperti hujan yang turun, yang selalu dirindukan oleh tanam tumbuh, ragam nafas segala bernyawa karena sering didera kering kerontang kemarau panjang. Sama sepertiku yang haus akan damai atau berdamai dengan diri karena ego yang sulit dibendung.
Aku dan hujan bukan sama serupa, tetapi jauh beda. Hujan tak hanya memberikan kesejukan namun juga keteduhan.
Aku yang sering lupa bersyukur, bagaimana aku bisa seperti hujan yang setiap tetesan sangat berarti bagi tanam tumbuh dan nyawa jiwa.
Aku hanyalah nyawa jiwa yang sering kali mengeluh, mengaduh, gaduh, mengoceh, iri, dengki, tak tentu arah hingga kalah dari pada mencoba melangkah.
Hujan memang bisa membawa badai hingga tangis luka derita ketika tetesannya tak tertampung karena ulah kita. Namun ia selalu bijaksana bisa mengapus dahaga hingga memberi hidup sebagian besar makhluk yang mendiami bumi.
Aku, aku? Aku sering serakah, angkuh dan mengeluh dan banyak alasan tentang diri. Tak seperti hujan yang turun menyejukan jiwa dan memberikan kehidupan, yang selalu dirindukan.
Ku ingin hujan menyirami setiap tubuhku. Aku rindu itu. Basuhlah dan siramilah kiranya aku dengan tetesan yang bisa menghilangkan ego, penyekat dan pembatas antara aku dengan semua.
Aku selalu ingat dan merindukan tentang hujan. Karena setiap tetesnya pula memberikan kekuatan untuk tumbuhan bisa tumbuh dan menyegarkan daun-daun yang mulai luluh layu ketika kering kerontang mendera di musim yang tak tentu.
 Aku ingin melepas tetesan demi tetesan keringat, tetapi aku sering kalah oleh kemalasanku. Aku sering kalah dengan titah Sang Kuasa yang tak lain harus bisa mensyukuri setiap tarikan nafas.
Aku semakin sulit berterima kasih kepada pencipta, kepada hujan, kepada alam dan sesama yang sudah memberi tanpa tanpa alasan ini itu alias ikhlas tanpa batas.
Rinai rintik hujan selalu memberi tanda kepada kita bahwa ia ada sebagai penyejuk jiwa bukan musuh atau penghalang rintang ketika kita harus menembus batas menjelang senja tiba.
Pun, banyak dari antara aku yang berlindung dan takut dari hujan, takut membasahi tubuh karena tetesannya terlalu deras.
Aku yang terkadang risau, ketika panas ingin hujan, ketika hujan ingin panas. Ketika hujan dan panas (hujan panas) bersama-sama turun aku pun enggan menerabasnya. Lalu?
Ya, itulah aku. Aku yang selalu salah, selalu berkilah dan ego diri tanpa melihat setiap arti dari tetesan hujan yang memberikan kesejukan dan kehidupan. Terima kasih hujan yang mengajarkanku tentang arti mensyukuri kehidupan. Ku ingat dan selama ini aku sering menjadi fotocopi dibanding menjadi diri sendiri. Hidupku hanya sekali, buatlah kiranya berarti bagi semua dan sesama. Kuingin seperti hujan yang apa adanya.
Ketapang, 18 Juli 2025
Petrus Kanisius-Yayasan Palung
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI