Kita bertanya, siapa itu orang Papua? Mengapa orang Papua selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif? Â Demi terciptanya perdamaian di Papua, maka martabat dan kemanusiaan orang asli Papua mesti mendapatkan tempat di hati semua orang yang hidup di Papua dan Indonesia. Tidak ada lagi rasis, stigma, steriotipe, dan pengobjekkan terhadap orang asli Papua, seakan-akan orang asli Papua tidak mampu!
 Di sisi lain, saat ini, kita menyaksikan di dalam tubuh Papua sendiri telah terpecah-belah! Muncul istilah, orang Gunung, Pantai, Utara, Selatan, sebagai identifikasi suku dan karakter sosial di kalangan orang asli Papua.Â
Kondisi ini, diperuncing dengan pemekaran provinsi di tanah Papua. Kita melihat orang Papua terpecah-belah. Padahal, Papua hanya satu. Satu Papua. Maka, orang asli Papua harus bersatu! Tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda orang asli Papua harus duduk bicara tentang perdamaian Papua dan masa depannya!
Pada akhirnya, pembicaraan tentang membangun perdamaian Papua, perlu mendapatkan tanggapan dan kebijakan dari pemerintah, baik pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah di Papua. Pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah daerah di Papua (Gubernur dan Bupati) perlu mengambil peran besar dalam upaya membangun perdamaian Papua. Pemerintah daerah wajib menjamin perdamaian di Papua melalui produk hukum dan kebijakan yang bersifat komprehensif dan holistik.
Manusia, leluhur dan alam semesta Papua sedang merindukan damai yang lahir dari setiap hati yang bersih dan tulus untuk memeluk Papua. Para tokoh agama memegang peran kunci dalam menyebarluaskan gagasan perdamaian Papua, sekaligus menjadi penggerak utama dalam mendorong terciptanya damai di dalam pribadi-pribadi, keluarga, marga dan komunitas suku.
Tetapi, sebaik apa pun upaya perdamaian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama, orang asli Papua sendiri harus bangkit merajut perdamaian di Papua. Pendeta Dora Balubun bilang, "Orang adat Papua, masyarakat adat Papua, para pimpinan agama asli Papua, perempuan Papua, pemuda Papua, tokoh-tokoh intelektual Papua, birokrat-birokrat Papua, harus duduk bicara tentang hidupnya di atas negerinya. Jangan orang lain yang berbicara. Mereka harus berbicara tentang hidupnya!"
Saya mengakhiri catatan refleksi, "Merindukan Papua Damai, Ungkapan Suara Hati Tokoh Agama di Papua"Â ini dengan bait sederhana ini:
Papua Damai
Bersemi dalam sukma setiap insan di Papua
Tak terkatakan
Tak bertepi