Mohon tunggu...
PETRUS PIT SUPARDI
PETRUS PIT SUPARDI Mohon Tunggu... Penulis - Menulis untuk Perubahan

Musafir di rumah bumi Papua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Merindukan Papua Damai, Ungkapan Suara Hati Tokoh Agama di Papua

17 Juli 2022   07:46 Diperbarui: 17 Juli 2022   07:52 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dalam konteks menjaga perdamaian di Papua, perlu dilihat akar masalah Papua yaitu sejarah Papua yang tidak pernah selesai sampai hari ini.  Konflik harus bisa diselesaikan dengan cara-cara yang lebih bermartabat; misalnya untuk konflik perbedaan ideologi bisa dilakukan melalui proses dialog. Itu menjadi salah satu syarat agar perdamaian tetap terpelihara di Papua," tutur Markus Kayoi, anggota MRP dari Pokja Agama, pada Selasa, (5/7/2022).

Dua puluh tahun silam, tepatnya 25-30 November 2002, para tokoh agama, politisi, masyarakat adat, pemerintah, media massa dan akademisi berkumpul dan melaksanakan lokakarya, "Membangun Budaya Damai Menuju Papua Tanah Damai." 

Kegiatan itu diprakarsai oleh kantor Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) Keuskupan Jayapura. Hasil-hasil lokakarya tersebut, terangkum dalam buku, "Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi, Dasar Menangani Konflik di Papua," yang diterbitkan oleh SKP Keuskupan Jayapura, pada tahun 2005.  

Di dalam buku itu, ada sembilan gagasan yang perlu dipenuhi agar tercipta damai di tanah Papua. Kesembilan unsur tersebut adalah 1) partisipasi; 2) kebersamaan dan toleransi-menghargai; 3) komunikasi-informasi; 4) kesejahteraan; 5) rasa aman dan nyaman; 6) keadilan dan kebenaran; 7) kemandirian; 8) harga diri dan pengakuan; 9) keutuhan-harmoni.

Kini, setelah dua puluh tahun, apakah kesembilan unsur tersebut sudah dialami oleh orang asli Papua (OAP) di atas negerinya?  Kita merenung sejenak dan jawabannya, "belum sepenuhnya!" Karena, sampai hari ini, konflik bersenjata masih berlangsung di Papua. 

Perundingan/dialog yang diusung untuk mempertemukan Indonesia dan Papua belum terlaksana. Ruang-ruang perjumpaan lintas budaya dan agama terasa sempit. Primordialisme dan kesukuan menganga lebar. Papua damai terasa jauh dari kehidupan sehari-hari di tanah terberkati ini.  

Hari itu, Selasa, (5/7/2022), bertempat di Hotel Horison Kotaraja, kantor Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua menggelar, fokus grup diskusi (FGD) dengan tema, "Tantangan dan Peran Agama-Agama Dalam Perjuangan Membangun Perdamaian Papua." 

FGD tersebut berupaya melihat kembali tantangan dan perjuangan para pimpinan agama dalam mengupayakan perdamaian di tanah Papua. Tokoh-tokoh agama yang hadir mengungkapkan kegelisahan atas berbagai bentuk kekerasan yang terjadi di tanah Papua sekaligus kerinduan agar para pihak terkait berjumpa, duduk bersama dan mencari titik temu penyelesaian permasalahan Papua.

FGD 5 Juli 2022 di Jayapura. Dokpri.
FGD 5 Juli 2022 di Jayapura. Dokpri.

Di dalam diskusi yang diliputi oleh semangat persaudaraan yang erat itu, lahirlah refleksi terkait upaya membangun perdamaian di Papua. Tokoh agama, dari Gereja KINGMI Papua, Pendeta Dominggus Pigay bilang, "Damai adalah wujud Roh Allah." 

Kenyataannya, saat ini damai di Papua sedang terkoyak. Artinya, wajah Allah itu sedang terkoyak. Bagaimana kita memperbaiki wajah Allah yang sedang rusak itu? 

Pada titik ini, tokoh-tokoh agama perlu mengambil inisiatif lebih luas dalam memperbaiki, merawat dan mengobati wajah Allah yang rusak, yang tampak di dalam seluruh kehidupan orang asli Papua saat ini. Dengan demikian, Papua mengalami pemulihan dan bisa mengalami damai yang sesungguhnya, yaitu damai Allah.

Aspek manusiawi yang paling utama dalam meletakkan upaya perdamaian Papua adalah Papua harus menjadi subjek. Papua secara keseluruhan meliputi manusia, alam, leluhur perlu menjadi subjek. Orang Papua harus berdaya mengelola, diri, hidup dan alamnya. 

Aspek budaya dan adat perlu menjadi fondasi dalam melihat Papua. Di dalam budaya dan adat, ada unsur-unsur hakiki yang menjadi landasan pijak membangun perdamaian Papua.

Selama ini, orang asli Papua ada, tetapi dianggap tidak ada. Maka, aspek pengakuan terhadap eksistensi OAP menjadi sangat penting. Pemerintah Pusat sampai Daerah perlu mengakui eksistensi orang asli Papua, melalui pembangunan Papua secara holistik; adat, budaya, pendidikan, kesehatan dan ekonomi dengan mendengarkan pendapat orang asli Papua. Sebab, selama ini, orang Papua mau lain, pemerintah dan penguasa bikin lain!

 Kita bisa bertanya, sebenarnya damai dan perdamaian itu berawal dari mana? Para tokoh agama sepakat bawah perdamaian Papua bermula dari diri sendiri dan komunitas. 

Perdamaian di Papua merupakan sebuah perjuangan, diusahakan mulai dari dalam diri sendiri, keluarga, suku, dan segenap rakyat bangsa Papua. Artinya, orang asli Papua sebagai pribadi-pribadi, sebagai komunitas suku dan bangsa harus berjuang mewujudkan perdamaian mulai dari dalam diri sendiri. Pada titik ini, aspek keteladanan menjadi faktor penentu. Hati dan pikiran harus bersih agar mengalirkan damai di atas tanah Papua!

Upaya membangun perdamaian Papua bukan urusan orang asli Papua saja. Setiap pihak, yang hidup di tanah Papua perlu mengambil bagian. Perdamaian Papua membutuhkan kerja sama semua stakeholder. 

Perjuangan membangun perdamaian di Papua mesti lahir dari sinergi, kolaborasi, saling terhubung, duduk bersama serta refleksi baik di tingkat pimpinan agama sampai komunitas basis/umat, masyarakat akar rumput. Para pihak mesti memiliki kesamaan visi membangun Papua Damai.

Perdamaian Papua juga sangat ditentukan oleh aspek penegakkan kebenaran dan keadilan. Perdamaian terwujud apabila ada kebenaran dan keadilan. Kebenaran tentang sejarah Papua dan keadilan perlakuan terhadap orang asli Papua. Kita harus mengakui bahwa secara politik, orang Papua memiliki sejarah bangsanya. Karena itu, kebenaran sejarah ini perlu dikembalikan ke orang Papua dan keadilan ditegakkan!

Kita menjumpai banyak kali, kalau orang asli Papua mengalami musibah dan kekerasan, tidak ada gerakan atau aksi, seruan dan lain-lain. Semua pihak membisu. Tetapi, kalau orang non-Papua mengalami bencana alam, dan lain-lain, lihatlah aksi penggalangan dana muncul di setiap persimpangan jalan. Prinsip kemanusiaan universal mesti berlaku juga untuk orang asli Papua. Pada titik ini, perjumpaan, dialog, perundingan mesti dikedepankan dalam melihat segala permasalahan dan penderitaan Papua. Kebijakan publik perlu berpihak pada Papua.

Kita bertanya, siapa itu orang Papua? Mengapa orang Papua selalu mendapatkan perlakuan diskriminatif?   Demi terciptanya perdamaian di Papua, maka martabat dan kemanusiaan orang asli Papua mesti mendapatkan tempat di hati semua orang yang hidup di Papua dan Indonesia. Tidak ada lagi rasis, stigma, steriotipe, dan pengobjekkan terhadap orang asli Papua, seakan-akan orang asli Papua tidak mampu!

 Di sisi lain, saat ini, kita menyaksikan di dalam tubuh Papua sendiri telah terpecah-belah! Muncul istilah, orang Gunung, Pantai, Utara, Selatan, sebagai identifikasi suku dan karakter sosial di kalangan orang asli Papua. 

Kondisi ini, diperuncing dengan pemekaran provinsi di tanah Papua. Kita melihat orang Papua terpecah-belah. Padahal, Papua hanya satu. Satu Papua. Maka, orang asli Papua harus bersatu! Tokoh adat, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh pemuda orang asli Papua harus duduk bicara tentang perdamaian Papua dan masa depannya!

Pada akhirnya, pembicaraan tentang membangun perdamaian Papua, perlu mendapatkan tanggapan dan kebijakan dari pemerintah, baik pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah di Papua.  Pemerintah pusat di Jakarta dan pemerintah daerah di Papua (Gubernur dan Bupati) perlu mengambil peran besar dalam upaya membangun perdamaian Papua. Pemerintah daerah wajib menjamin perdamaian di Papua melalui produk hukum dan kebijakan yang bersifat komprehensif dan holistik.

Manusia, leluhur dan alam semesta Papua sedang merindukan damai yang lahir dari setiap hati yang bersih dan tulus untuk memeluk Papua. Para tokoh agama memegang peran kunci dalam menyebarluaskan gagasan perdamaian Papua, sekaligus menjadi penggerak utama dalam mendorong terciptanya damai di dalam pribadi-pribadi, keluarga, marga dan komunitas suku.

Tetapi, sebaik apa pun upaya perdamaian yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama, orang asli Papua sendiri harus bangkit merajut perdamaian di Papua. Pendeta Dora Balubun bilang, "Orang adat Papua, masyarakat adat Papua, para pimpinan agama asli Papua, perempuan Papua, pemuda Papua, tokoh-tokoh intelektual Papua, birokrat-birokrat Papua, harus duduk bicara tentang hidupnya di atas negerinya. Jangan orang lain yang berbicara. Mereka harus berbicara tentang hidupnya!"

Saya mengakhiri catatan refleksi, "Merindukan Papua Damai, Ungkapan Suara Hati Tokoh Agama di Papua" ini dengan bait sederhana ini:

Papua Damai

Bersemi dalam sukma setiap insan di Papua

Tak terkatakan

Tak bertepi


Kapan Papua Damai terwujud?

Berjuang dalam angan

Tak cukup!

Bongkarlah kepalsuan!

Abepura, 17 Juli 2022; 09:10 WIT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun