Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Perempuan Malam yang Menjemput Pagi

3 Juni 2016   04:16 Diperbarui: 3 Juni 2016   08:23 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="http://www.jendelasastra.com/files/user/4158/1045117_453623021401336_1876652442_n.jpg"][/caption]

Sudah kali kesekian pandanganku ditarik ke bangku besi di trotoar lebar itu. Sama seperti tadi. Hanya satu dua pelintas di jalan kota. Berlalu cepat bagai mengejar sorot lampunya sendiri. Sementara di bangku itu duduk seorang perempuan. Tanpa ada yang perduli.

Beberapa kali kulihat dia memandang ke seluruh arah. Seperti ada yang dicari. Namun tak sekalipun dia dapatkan. Terbukti. Dia tak beranjak dari situ.

Usia perempuan itu kutaksir diatas tiga lima. Ada lipatan lemak di perutnya saat kaus ketat pembalut tubuh sintalnya terangkat ketika dia mengubah cara duduknya. Sajian seronok kudapat. Ada undangan terselip di setiap lekuk tubuhnya.

Kulihat ada perjuangan besar dirinya agar tampak lebih muda karena tampak banyak sayap kupu-kupu melayang disekitar kepalanya. Secara acak keluar masuk benaknya. Ada pendar pesona dari pantulan cahaya kota.

Ditangannya smartphone dan rokok putih tak pernah lepas. Dimainkannya bergantian. Tapi kupastikan pikirannya tidak pada benda itu.

Dari selasar minimarket franchise ini aku jadikan dia obyek tontonan tengah malamku.

Kepadanya hasratku berbicara bercampur seribu tanya dalam benak. Bagai pertunjukan tarian malam kulahap semua geraknya. Sesekali kuseruput capuccino panas untuk meredakan kegugupanku yang dihidupkan gelora pesonanya.

Perempuan itu tak tahu, di sini aku pun sedang berjuang. Sama seperti dia saat duduk di situ. Dia berjuang agar tampak muda dan menarik sementara aku berjuang untuk tak larut pada perjuangannya. Kupikir cara paling tepat adalah tetap duduk di selasar minimarket 24 jam ini. Menghabiskan beberapa gelas kopi panas dan berbatang-batang rokok. Sampai pagi datang menjemputku. Itulah tanda kemenangan.

"Sendiri saja, Mbak?"
Oh, iya memang sendiri. Mas nginap di mana?"
"Saya di Hotel itu, di lantai 1109". Telunjukku mengarah pada bagunan megah 15 lantai tak jauh dari kami duduk.

Tak kusadari kapan bermula, ternyata aku telah duduk di sampingnya di bangku trotoar itu. Sama-sama menatap ke arah jalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun