Melihat tingkahku, perlahan sinar wajah mereka meredup. Seperti cahaya lampu teplok yang kehabisan minyak. Seakan-akan mereka sudah paham apa yang akan kukatakan. Tentara memang punya insting yang kuat membaca gestur.Â
Aku pun memeras otak untuk menyiasati suasana. Melecut kembali semangat mereka. Dengan didahului suara batuk, aku berkata bahwa perjumpaanku dengan Pak Harto berlangsung singkat.Â
"Dalam pertemuan singkat itu, beliau berpesan ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo," kataku sengaja melepas suara menggelegar. Seketika suasana menjadi hening. Beberapa dari mereka hanya menghela napas berat.Â
Dalam sekejap suaraku yang mengguntur membangkitkan mereka. Aku pun menjabarkan makna dari nasihat Pak Harto. "Para perwira sekalian, dengan bekal ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo, kita akan berhasil. Kita akan selamat dalam tugas."Â
Tak henti-henti kupompa semangat mereka. Menguraikan makna dari nasihat Pak Harto. Letupan suaraku membuat wajah mereka kembali terang.Â
Lantas aku mengatakan bahwa ojo lali berarti "jangan lupa". Aku pun menghela napas sejenak . "Jangan lupa tentang semua. Terutama ajaran agama. Jangan melanggar ajaran agama masing-masing. Tidak boleh mengambil hak orang lain. Tidak boleh menyakiti orang tidak berdosa."
Mereka pun manggut-manggut.
"Lalu ajaran orangtua kita. Ajaran sekolah kita. Jangan coba-coba langgar. Selanjutnya ajaran tentara. Kalau waktunya jaga malam, ya harus jaga malam. Kalau sedang patroli, ya harus pasang pengaman. Jangan lupa kunci senjata. Jangan lupa suntikan, perban, obat anti bisa ular. Mengerti?"
"Mengerti!" mereka menyahut serentak.
"Kemudian ojo dumeh. Artinya jangan sombong. Jangan kau mengira kebal peluru. Dan selanjutnya ojo ngoyo. Jangan memaksakan diri. Kalian paham?"
"Paham!" mereka kembali menyahut serentak.Â