Kini aku akan kembali menghadap kepala negara dan pemerintahan yang sangat piawai mengendalikan urusan pembangunan nasional. Begitu banyak hal yang dia kendalikan secara cermat, mulai dari masalah pupuk, benih, irigasi, pabrik pesawat, pabrik kereta api, hingga masalah politik luar negeri.Â
Perjalanan dari Cilodong ke Jalan Cendana biasa ditempuh satu jam. Rasanya ingin terbang saja ke sana agar lebih cepat sampai. Aku masih saja berkhayal tentang sangu hingga tiba di Jalan Cendana sekitar pukul 20 malam.Â
Rupanya Pak Harto menyambut kedatanganku hanya dengan mengenakan sarung. "Bowo sebentar lagi berangkat tugas?"
"Siap, Pak!"
"Saya titip tiga hal. Ojo lali, ojo dumeh, ojo ngoyo. Mengerti?"
"Siap, Pak!"
Lalu Pak Harto memegang kepalaku seperti biasa dia lakukan terhadap anak, cucu, dan orang-orang tersayang. "Selamat bertugas!"
"Siap, Pak!"
Pertemuanku dengan Pak Harto hanya berlangsung beberapa menit. Aku kembali ke mobil tanpa tergesa-gesa. Nasihat yang kudengar begitu ringkas namun meresap sampai ke relung jiwa. Kini aku lebih paham bagaimana seharusnya tentara sejati bersikap di medan perang.Â
Dalam perjalanan pulang, terbayang wajah para perwiraku. Aku kembali tersenyum membayangkan apa yang mereka harapkan. Benar saja dugaanku, para perwiraku sedang menunggu di Ruang Yudha. Pasti mereka sedang berharap sangu pikirku.Â
Raut wajah mereka bersinar diliputi kegembiraan yang berpendar-pendar. Aku agak canggung harus memulai cerita dari mana. Bahkan tanpa sadar aku menggaruk-garuk kepala. Menggores-goreskan jari telunjuk ke hidung.Â