Bahkan aku pernah berangan-angan untuk mengajak dia bertemu Ibu. Kelihatannya dia dan Ibu sama-sama menyukai obrolan ringan. Namun, kesibukanku selalu jadi penghalang.Â
"Ayo ikut main bridge," kata Hashim seusai makan siang.
"Siapa takut," kataku.
"Benar mau ikut main? Sebentar lagi kakakmu datang. Kamu bisa berpasangan dengan Has," kata Ibu menyebut nama panggilan Hashim.
"Lain kali aja dech. Sekarang saya jadi penonton aja, Ibu dan Has kan pasangan serasi," kataku disertai tawa Ibu.
Hashim sudah menyiapkan arena main kartu bridge. Ini jenis olah raga yang membutuhkan kejelian dalam melihat peluang dan sangat memerlukan ketelitian dalam menyusun strategi. Â
"Saya ke kamar dulu, panggil saya kalau mereka datang," kataku kepada Hashim.
"Oke," sahut Hashim.
Aku berlalu ke kamar namun membatin tak henti-henti. Kali ini aku benar-benar telah berniat untuk mempertemukan Ibu dengan gadis Jogja itu. Lantas saja terbetik sebuah rencana di benakku untuk menulis sepucuk surat. Â
Aku pun tersenyum sendiri. Lekas-lekas menutupi wajah dengan bantal. Sekonyong-konyong, aku teringat sebuah ungkapan William Shakespeare: cinta tak tertangkap oleh mata, tapi diserap oleh pikiran. Maka bagi si buta, cinta seperti bidadari yang bersayap. Â Â
Tiba-tiba Hashim mengetuk pintu kamar. Aku bangkit dan menghambur keluar. Namun, aku tak mendengar suara Bianti dan Marjani.Â