Di sisi lain, masyarakat sendiri, yang tengah bergulat dengan persoalan ekonomi, cenderung memprioritaskan hiburan praktis yang murah, instan, dan mudah dicerna. Inilah yang menyebabkan pertunjukan berbobot kehilangan penonton.
Apa Arah Kita ke Depan
Pertama, kita perlu membenahi infrastruktur lunak, bukan hanya fisik. TIM boleh megah, tetapi jika tidak ada manajemen berkesenian yang cerdas, kurator seni yang visioner, dan kebijakan publik yang berpihak pada pengembangan seni, semua itu hanya akan jadi menara gading.
Kedua, kita harus membangun jejaring dan pusat-pusat seni di luar Jakarta. Medan, Yogyakarta, Bandung, Malang, Â Surabaya, Denpasar, Makassar, dan kota-kota lain harus punya pusat seni pertunjukan yang hidup, bukan sekadar gedung kosong.
Ketiga, pemerintah dan swasta harus bergandengan tangan menciptakan sistem pendanaan seni yang transparan dan berkelanjutan. Di banyak negara, seni pertunjukan berkembang karena adanya dana publik, hibah, sponsorship, dan filantropi yang dikelola dengan baik.
Keempat, regenerasi pelaku seni harus menjadi prioritas. Pendidikan seni harus diperkuat sejak sekolah dasar. Kurikulum pendidikan nasional perlu memberi ruang besar bagi seni sebagai pilar pembentukan karakter.
Kelima, kita harus memperkuat solidaritas di kalangan seniman. Himpunan profesi seperti dalam kasus musisi harus diperkuat, agar tidak terus-menerus terjadi polemik soal hak cipta yang hanya menguras energi tanpa hasil nyata.
Indonesia punya modal budaya yang sangat kaya untuk melahirkan ekosistem seni pertunjukan kelas dunia. Namun, tanpa arah yang jelas, tanpa visi jangka panjang, dan tanpa sinergi berbagai pihak, seni pertunjukan kita hanya akan jadi cerita masa lalu.
Revitalisasi TIM harus menjadi awal dari gerakan besar membangun seni pertunjukan nasional yang hidup di hati masyarakat. Mari kita belajar dari Broadway, bukan untuk menirunya, tetapi untuk menggali potensi kita sendiri. Seni pertunjukan bukan hanya soal panggung, tetapi soal peradaban bangsa.
Lihat :