TIM dan Gedung Kesenian: Infrastruktur Tanpa Jiwa
Sejak masa Gubernur Ali Sadikin di tahun 1970-an, Jakarta memiliki Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat seni dan budaya. TIM kala itu menjadi ruang penting lahirnya karya dan seniman besar seperti WS Rendra, Teguh Karya, Asrul Sani, hingga koreografer seperti Bagong Kusudiardjo. TIM bahkan menjadi cermin geliat intelektual dan kebebasan berekspresi pada masanya.
Kini, TIM sudah direvitalisasi dengan gedung-gedung modern : Gedung Ali Sadikin 14 lantai, Graha Bhakti Budaya, perpustakaan modern, teater berteknologi canggih dengan 954 kursi. Namun, persoalannya, infrastruktur megah tidak menjamin lahirnya karya-karya besar jika tidak diiringi dengan ekosistem dan visi yang tepat.
Mengandalkan satu pusat seperti TIM tidak cukup. Kita perlu desentralisasi ruang berkesenian agar seni pertunjukan bisa dekat dengan masyarakat. Lihatlah bagaimana Broadway tumbuh dari kebutuhan sosial masyarakat Amerika yang memang haus hiburan teaterikal bermutu. Broadway bukan sekadar deretan gedung, tetapi juga bagian dari kultur warga yang mendukung seni sebagai bagian hidup sehari-hari.
Broadway : Cermin Keberhasilan yang Belum Kita Miliki
Broadway, jantung teater Amerika Serikat, adalah bukti dengan konsistensi, visi jangka panjang, dan dukungan publik, seni pertunjukan dapat menjadi industri kreatif yang menguntungkan sekaligus mengangkat martabat budaya bangsa. Sejak abad ke-19, Broadway tidak hanya menjadi panggung hiburan, tetapi juga ruang dialektika sosial, politik, dan budaya.
Musikal seperti The Phantom of the Opera, Les Misrables, atau Hamilton telah menembus batas seni dan bisnis. Broadway melahirkan bintang kelas dunia, menjadi magnet wisata budaya, dan mesin ekonomi yang menyumbang triliunan dolar bagi New York.
Sayangnya, Indonesia belum memiliki "Broadway" dalam makna sejatinya. TIM pernah memulai embrionya, tetapi belum berkembang jadi ekosistem yang hidup.
Seni Pertunjukan dan Tantangan Sosial-Ekonomi
Mengapa seni pertunjukan Indonesia sulit berkembang. Salah satu jawabannya adalah karena seni dan budaya tidak pernah benar-benar berpijak kokoh dalam dinamika masyarakat kita. Modernisasi, pembangunan ekonomi, dan dinamika politik justru melahirkan turbulensi yang membuat seni terpinggirkan.
Setelah jatuhnya Orde Baru dan memasuki era Reformasi, kita menyaksikan euforia kebebasan yang tidak selalu diiringi dengan perencanaan budaya yang matang. Seni seringkali menjadi korban tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi. Pemerintah tidak konsisten menempatkan seni sebagai bagian penting pembangunan karakter bangsa.