Seni Pertunjukan Indonesia : Mencari Arah di Tengah Galau Sosial Ekonomi
Seni pertunjukan merupakan salah satu pilar penting dalam membangun identitas budaya sebuah bangsa. Di Indonesia, seni pertunjukan memiliki sejarah panjang yang kaya, mulai dari seni tradisi seperti wayang kulit, tari topeng, ketoprak, hingga seni modern seperti teater kontemporer dan musik populer. Namun, di tengah perkembangan zaman, globalisasi, dan modernisasi, kita menghadapi kenyataan pahit : perkembangan seni pertunjukan Indonesia, khususnya yang bersifat teaterikal dan musikal, terasa stagnan, bahkan cenderung kehilangan arah.
Jika kita membaca media massa, liputan mengenai seni pertunjukan seolah tertelan dominasi pemberitaan dunia perfilman, musik populer, dan hiburan yang lebih menjual secara komersial. Isu yang menyentuh seni pertunjukan pun kerap hanya muncul jika ada polemik, seperti yang terjadi pada persoalan hak cipta dalam musik.
Polemik Hak Cipta dan Solidaritas yang Rapuh
Polemik mengenai hak cipta lagu baru-baru ini sempat mengemuka di ruang publik. Perdebatan dipicu oleh pernyataan salah satu musisi ternama, Achmad Dhani, yang menegaskan pentingnya izin resmi bagi siapa pun yang ingin membawakan karya ciptaannya. Sebaliknya, sebagian artis seperti Agnes Mo, Judika, atau Ariel Noah menilai bahwa musik adalah karya seni yang idealnya bisa dibawakan siapa saja sebagai bentuk apresiasi.
Polemik ini sebetulnya bukan hal baru. Undang-undang Hak Cipta sudah lama ada sebagai payung hukum, namun penerapannya seringkali tidak tegas. Di satu sisi, ada musisi yang menuntut perlindungan karya secara mutlak. Di sisi lain, budaya gotong-royong seni kita kadang mengaburkan batas antara apresiasi dan pelanggaran. Celakanya, para musisi kita jarang bersatu dalam himpunan profesional yang solid. Setiap artis atau pencipta berjalan sendiri-sendiri, tanpa visi kolektif untuk membangun ekosistem seni yang sehat.
Di negara lain, himpunan profesi seperti ASCAP di Amerika Serikat atau JASRAC di Jepang bekerja secara kolektif dan efektif. Sementara di Indonesia, lembaga serupa seperti WAMI atau KCI masih menghadapi tantangan internal dan eksternal untuk benar-benar mewujudkan tata kelola hak cipta yang adil dan berpihak pada pencipta dan performer.
Java Jazz Festival : Simbol Kebingungan Arah
Kita patut mengapresiasi keberadaan Java Jazz Festival (JJF) yang selama lebih dari 20 tahun konsisten menghadirkan musisi jazz dari dalam dan luar negeri. Namun, kita juga harus jujur bahwa JJF belum berhasil memberikan arah perkembangan jazz Indonesia yang kokoh. Festival ini lebih terasa sebagai ajang tontonan sesaat, tanpa mendorong regenerasi musisi jazz atau membangun ekosistem jazz yang kuat di tanah air.
Bandingkan dengan Montreux Jazz Festival di Swiss atau Newport Jazz Festival di AS, yang bukan hanya festival tetapi juga menjadi pusat pendidikan, workshop, dan regenerasi musisi. JJF masih belum mampu menjembatani dunia pendidikan musik dengan panggung profesional secara berkelanjutan.
TIM dan Gedung Kesenian: Infrastruktur Tanpa Jiwa
Sejak masa Gubernur Ali Sadikin di tahun 1970-an, Jakarta memiliki Taman Ismail Marzuki (TIM) sebagai pusat seni dan budaya. TIM kala itu menjadi ruang penting lahirnya karya dan seniman besar seperti WS Rendra, Teguh Karya, Asrul Sani, hingga koreografer seperti Bagong Kusudiardjo. TIM bahkan menjadi cermin geliat intelektual dan kebebasan berekspresi pada masanya.
Kini, TIM sudah direvitalisasi dengan gedung-gedung modern : Gedung Ali Sadikin 14 lantai, Graha Bhakti Budaya, perpustakaan modern, teater berteknologi canggih dengan 954 kursi. Namun, persoalannya, infrastruktur megah tidak menjamin lahirnya karya-karya besar jika tidak diiringi dengan ekosistem dan visi yang tepat.
Mengandalkan satu pusat seperti TIM tidak cukup. Kita perlu desentralisasi ruang berkesenian agar seni pertunjukan bisa dekat dengan masyarakat. Lihatlah bagaimana Broadway tumbuh dari kebutuhan sosial masyarakat Amerika yang memang haus hiburan teaterikal bermutu. Broadway bukan sekadar deretan gedung, tetapi juga bagian dari kultur warga yang mendukung seni sebagai bagian hidup sehari-hari.
Broadway : Cermin Keberhasilan yang Belum Kita Miliki
Broadway, jantung teater Amerika Serikat, adalah bukti dengan konsistensi, visi jangka panjang, dan dukungan publik, seni pertunjukan dapat menjadi industri kreatif yang menguntungkan sekaligus mengangkat martabat budaya bangsa. Sejak abad ke-19, Broadway tidak hanya menjadi panggung hiburan, tetapi juga ruang dialektika sosial, politik, dan budaya.
Musikal seperti The Phantom of the Opera, Les Misrables, atau Hamilton telah menembus batas seni dan bisnis. Broadway melahirkan bintang kelas dunia, menjadi magnet wisata budaya, dan mesin ekonomi yang menyumbang triliunan dolar bagi New York.
Sayangnya, Indonesia belum memiliki "Broadway" dalam makna sejatinya. TIM pernah memulai embrionya, tetapi belum berkembang jadi ekosistem yang hidup.
Seni Pertunjukan dan Tantangan Sosial-Ekonomi
Mengapa seni pertunjukan Indonesia sulit berkembang. Salah satu jawabannya adalah karena seni dan budaya tidak pernah benar-benar berpijak kokoh dalam dinamika masyarakat kita. Modernisasi, pembangunan ekonomi, dan dinamika politik justru melahirkan turbulensi yang membuat seni terpinggirkan.
Setelah jatuhnya Orde Baru dan memasuki era Reformasi, kita menyaksikan euforia kebebasan yang tidak selalu diiringi dengan perencanaan budaya yang matang. Seni seringkali menjadi korban tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi. Pemerintah tidak konsisten menempatkan seni sebagai bagian penting pembangunan karakter bangsa.
Di sisi lain, masyarakat sendiri, yang tengah bergulat dengan persoalan ekonomi, cenderung memprioritaskan hiburan praktis yang murah, instan, dan mudah dicerna. Inilah yang menyebabkan pertunjukan berbobot kehilangan penonton.
Apa Arah Kita ke Depan
Pertama, kita perlu membenahi infrastruktur lunak, bukan hanya fisik. TIM boleh megah, tetapi jika tidak ada manajemen berkesenian yang cerdas, kurator seni yang visioner, dan kebijakan publik yang berpihak pada pengembangan seni, semua itu hanya akan jadi menara gading.
Kedua, kita harus membangun jejaring dan pusat-pusat seni di luar Jakarta. Medan, Yogyakarta, Bandung, Malang, Â Surabaya, Denpasar, Makassar, dan kota-kota lain harus punya pusat seni pertunjukan yang hidup, bukan sekadar gedung kosong.
Ketiga, pemerintah dan swasta harus bergandengan tangan menciptakan sistem pendanaan seni yang transparan dan berkelanjutan. Di banyak negara, seni pertunjukan berkembang karena adanya dana publik, hibah, sponsorship, dan filantropi yang dikelola dengan baik.
Keempat, regenerasi pelaku seni harus menjadi prioritas. Pendidikan seni harus diperkuat sejak sekolah dasar. Kurikulum pendidikan nasional perlu memberi ruang besar bagi seni sebagai pilar pembentukan karakter.
Kelima, kita harus memperkuat solidaritas di kalangan seniman. Himpunan profesi seperti dalam kasus musisi harus diperkuat, agar tidak terus-menerus terjadi polemik soal hak cipta yang hanya menguras energi tanpa hasil nyata.
Indonesia punya modal budaya yang sangat kaya untuk melahirkan ekosistem seni pertunjukan kelas dunia. Namun, tanpa arah yang jelas, tanpa visi jangka panjang, dan tanpa sinergi berbagai pihak, seni pertunjukan kita hanya akan jadi cerita masa lalu.
Revitalisasi TIM harus menjadi awal dari gerakan besar membangun seni pertunjukan nasional yang hidup di hati masyarakat. Mari kita belajar dari Broadway, bukan untuk menirunya, tetapi untuk menggali potensi kita sendiri. Seni pertunjukan bukan hanya soal panggung, tetapi soal peradaban bangsa.
Lihat :
Joyogrand, Malang, Wed', June 25, 2025.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI