Mohon tunggu...
Paris Ohoiwirin
Paris Ohoiwirin Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menyelesaikan pendidikan terakhir di sekolah tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Sulawesi Utara. Gemar membaca dan menulis tema-tema sastra, sejarah dan filosofis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

"Sang Pencuri Hujan"

19 Januari 2023   14:03 Diperbarui: 19 Januari 2023   14:09 389
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu dewa dalam mitologi Yunani (Sumber: pixabay)

Sudah tiga tahun langit berwarna merah darah. Sengatan mentari tak pernah terhalangi oleh gerombolan awan mendung apa pun. Panas merebak di mana-mana. Air sungai pun surut hingga hampir tandas mengering. Dedaunan yang dulunya hijau pekat, kini berubah menguning kecokelatan dan rapuh.

Dari desa kecil hingga ke Kotaraja terdengar jeritan kehausan di mana-mana, sedangkan korban banyak berjatuhan karena mati kehausan. Dunia dan khayangan menjadi gempar. Ada apa gerangan?

***

"Sang raja diraja, ya junjunganku kaisar langit, telinga hamba ini sudah tak kuat lagi menerima jutaan doa umat manusia, hewan dan tumbuhan yang mengeluh kehausan. Hamba pun tak tahu apa yang harus hamba perbuat."

Kepala pengawal raja langit berlutut dengan wajah tertunduk, tak berani menengadah, begitupun seluruh bala tentara langit sujud dengan muka ke bawah. Raja langit berdiri dari takhta kemilaunya. Sesaat kemudian berjalan ke arah barisan pengawal langit yang datang menemuinya di taman khayangan saat itu.

"Kau sudah cari tahu penyebab kekeringan itu?" Raja langit bertanya santai sambil menikmati keindahan bonsai langit kesayangannya.

"Sudah tuanku, penyebabnya adalah hujan yang tak kunjung turun selama tiga tahun ini," jawab kepala pengawal dengan sigap.

"Kalau begitu turunkan hujan sekarang juga. Kalau ada keberatan dari penjaga pintu langit, katakan bahwa ini perintahku!"

"Tuan, masalah yang kini timbul cukup aneh! Mata air abadi di langit telah hilang!" Kata-kata kepala pengawal langit mulai terdengar bergetar.

"Apa?" Murka penguasa langit itu menggelegar, "siapa yang berani mencuri mata air abadi? Sebarkanlah pasukan langit ke seluruh penjuru buana dan carilah makhluk gaib yang berani mencuri mata air abadi itu!"

Mata sang raja memerah darah. Tampak sekali kemurkaannya memuncak. Jelaslah kehilangan mata air abadi akan menimbulkan dampak negatif yang serius, bukan saja bagi raja-raja di bumi tetapi juga bagi kerajaan langit sendiri.

***

Kehilangan ini begitu mengguncang seluruh isi istana langit, tak terkecuali dua orang pembesar istana langit, mahapatih dan hulubalang.

"Mahapatih, siapakah yang kira-kira berani mencuri air sakti itu? Siapapun dia, dia pantas dihukum bakar di kawah gunung Merapi selamanya!"

"Tenang hulubalang kencana, makluk itu pasti tidak jauh dari kita, sebab tidak mungkin ada satupun makhluk dari buana yang dapat memasuki khayangan!"

"Maksudmu, pencuri itu tak lain adalah orang dalam khayangan sendiri?"

"Benar!"

"Tapi buat apa dia melakukan hal sebodoh itu? Dia pasti tahu bahwa pelaku pencurian air abadi akan dihukum bakar di kawah Merapi."

"Ia ingin menyingkirkan kita satu per satu!" kata sang mahapatih sambil berdiri menengadah ke depan, ke arah barisan tentara langit yang siap dikirim menyusupi keempat penjuru bumi. "Ia tahu bahwa kekuatan yang menopang kerajaan langit adalah doa dan sesajian umat manusia. Tanpa itu, kekuasaan semua dewa langit akan menghilang. Jika hujan tidak juga diturunkan, umat manusia akan putus asa. Lama kelamaan mereka akan mengutuki para dewa. Kira-kira itu siasatnya," jelas sang mahapatih. Penjelasan itu membuat sang hulubalang tercenung.

"Tetapi jika dia adalah makhluk khayangan, bukankah dia juga terkena dampak itu? Bukankah dia juga akan menghancurkan dirinya sendiri?"

"Tepat hulubalang! Maka saya yakin bahwa itu bukanlah perbuatan makhluk gaib maupun makhluk khayangan."

"Kalau begitu siapa?" pertanyaan sang hulubalang gantian membuat sang mahapatih terdiam sejenak, seolah berpikir keras.

"Di satu sisi, hanya makhluk khayangan yang mungkin melakukannya, tetapi di lain pihak, tak ada alasan masuk akal yang mendukung perkiraan bahwa makhluk khayangan yang melakukannya sebab itu sama saja dengan bunuh diri! Ini memang benar-benar membingungkan. Tetapi aku sudah punya satu kecurigaan!" tukas sang mahapatih

"Siapa?" tanya hulubalang tak sabar.

"Aryabuana!"

"Maksudmu anak Raja Hutan?"

Sang hulubalang berpikir sejenak. Kemudian terbelalak seakan menyadari sesuatu.

"Kamu benar mahapatih. Aku pun baru menyadarinya. Dia jelas bukanlah makhluk khayangan. Tetapi dalam beberapa waktu belakangan, bocah itu berkeliaran di taman khayangan, dan kaisar langit tidak pernah melarangnya berada di sini."

"Benar. Dia adalah satu-satunya makhluk buana yang bisa lolos ke sini berkat darah dewa yang mengalir di tubuhnya. Bocah itu bisa sampai ke sini ketika ia bersemedi. Hanya raganya yang bisa berkeliaran di sini, seperti yang terjadi selama ini. Tidak ada makhluk lain yang dapat melakukannya. Kau tahu sendiri bahwa sang Raja Hutan telah melatih anak itu sehingga memiliki tingkat kemampuan semedi yang tinggi, walaupun Aryabuana masih tergolong bocah."

"Memang benar. Tetapi, bagaimana bocah itu bisa mendapatkan darah dewa yang dimaksud?"

"Aryabuana sebenarnya adalah anak dewi kesuburan. Sang dewi pernah menanamkan tetesan darahnya pada rahim sang ratu Hutan yang mandul itu, dan lahirlah Aryabuana. Itu terjadi saat dewi kesuburan diusir dari khayangan oleh baginda karena ketahuan menjalin hubungan cinta terlarang dengan Raja Hutan. Sejak diketahui oleh baginda, Raja Hutan dibunuh dan dewi kesuburan diusir keluar dari istana khayangan. Dewi kesuburan pun kehilangan kekuasaannya. Sebagai gantinya, perihal kesuburan ditangani oleh dewi kekayaan, sedangkan Raja Hutanyang sekarang diambil dari kalangan rakyat jelata."

"Lalu bagaimana dengan nasib Aryabuana?"

"Raja baru itu akhirnya menjadi ayah angkat Aryabuana, sementara sang kaisar langit mengampuni Aryabuana sebagai titisan dewi kesuburan, sehingga ia tidak memusnahkan makhluk berdarah campuran itu. Sejak saat itu, Aryabuana bebas masuk keluar khayangan. Ia tak muncul lagi tepat saat air sakti itu hilang."

"Sekarang jelas, bahwa kecurigaan kita mengarah pada satu orang, yakni Aryabuana. Tapi bagaimanapun, ia tidak mungkin menembus penjagaan kencanabirawa bukan?" tukas sang hulubalang ragu.

"Hulubalang kencana, tentu ada banyak pertanyaan, tetapi lebih baik kita cari dulu orang itu ke seluruh buana sebelum kita melepaskan tersangka perbuatan keji ini."

***

Kecurigaaan sang mahapatih menghasilkan perintah agar balatentara khayangan menyisir kerajaan Hutan guna mencari Aryabuana.

Kedatangan para balatentara khayangan yang diselubungi oleh cahaya dan kilat segera membuat masyarakat ketakutan dan takluk. Setelah menyisir wilayah kerajaan tanpa hasil, mereka menyisir istana kerajaan Hutan yang letaknya begitu tersembunyi di tengah lebatnya rimba.

Istana kerajaan Hutan rupanya sudah mengetahui rencana kedatangan balatentara khayangan dan menyiapkan lusinan prajuritnya mengelilingi istana, lengkap dengan sejuta tombak dan perisai besi.

"Menyeralah! Kami atas nama raja langit, ingin agar kalian menyerahkan Aryabuana, putera mahkota kalian!" Sang pewarta balatentara khayangan berteriak menggelegar di depan gerbang utama istana yang dijaga ketat itu.

"Tidak! Putera mahkota tak pernah berbuat apapun melawan kaisar langit!" balas pewarta kerajaan dari atas dinding tembok istana tak kalah nyaring.

"Kalian berani melawan utusan langit! Ayo serbu!!!" seru sang kepala pasukan khayangan menggelegar bagai guruh.

Kekuatan tentara langit yang dahsyat, dengan pedang kilat mereka tidak mampu dilawan oleh prajurit kerajaan Hutan yang hanya bersenjatakan pedang dan perisai besi. Bagaimanapun, mereka sempat berhasil pula memukul mundur beberapa prajurit khayangan dengan pedang perak. Namun apapun usaha yang mereka lakukan tetap tidak mampu membendung gerak maju pasukan khayangan. Mereka merangsek mamasuki istana sampai pada takhta, di mana sang raja berlutut gemetar sambil memeluk Aryabuana yang masih berusia delapan tahun itu.

Setelah membunuh sang raja di depan mata Aryabuana yang kecil yang menagis sejadi-jadinya, bocah itupun langsung ditahan dan diterbangkan ke khayangan.

***

"Katakanlah anak kecil, apakah kau yang mencuri mata air abadi?" Sang kaisar langit mulai mencecar si anak dengan wajah sungguh-sungguh.

"Ti...tidak, saya tidak tahu apa-apa tentang air abadi itu!" jawab Aryabuana gemetar.

"Bohong!!!" Emosi dan kemarahan sang mahapatih membuncah, "kaulah penyebab semua ini bocah gila! Kau berbuat itu ketika datang ke sini sebulan yang lalu bukan?"

Kaisar langit memberi isyarat agar mahapatih kembali tenang.

"Jika kau mengakui kesalahanmu, kau tak akan kuhukum. Kau justru akan kuberi banyak hadiah dan kedudukan di kalangan warga khayangan." Sang kaisar masih terus membujuk. Sementara sang mahapatih tampak tak sabar ingin terus menekan bocah itu.

"Yang mulia. Kalau bukan dia siapa lagi? Dia sengaja melakukan ini untuk melemahkan kita semua. Dia ingin agar seluruh manusia marah kepada dewa-dewi, tidak melakukan pujian dan persembahan agar kuasa kita melemah dan dia bisa bertindak sebagai penguasa baru!"

Kata-kata sang mahapatih terdengar sempurna sebagai alasan paling masuk akal bagi sang kaisar langit untuk menghukum Aryabuana, tetapi sang kaisar masih dihinggapi kebimbangan lain. Ia masih berusaha membujuk sang bocah.

"Nak, sejak dulu kami memperlakukanmu dengan baik. Kau satu-satunya makhluk buana yang dapat hidup di khayangan. Kau tahu, air mata abadi itu sangat penting bagi seluruh manusia. Tanpa itu, manusia bisa dilanda kekeringan bahkan kematian. Dan kami yang bergantung pada kuasa doa dan sesajian manusia akan semakin lemah dan tidak berdaya karena mereka akan mengutuki kami!"

"Sungguh junjunganku, aku tak melakukan hal sebodoh itu. Jangankan mengambilnya, mendekati para penjaga istana langit yang menjaga air mata abadi itu saja aku segan dan takut. Tidak mungkinlah aku melakukan hal bodoh itu. Percayalah padaku, ya junjunganku!"

Balasan Aryabuana yang  nampak polos membuat sang kaisar langit bertambah bingung. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri.

"Tahan anak itu untuk sementara waktu di penjara langit. Perlakukan dia dengan baik dan jangan berlaku kasar. Aku akan putuskan apa yang harus dilakukan kemudian," titah sang kaisar langit.

***

Satu bulan kemudian...

Sungai-sungai menjadi kering kerontang. Air laut pun makin surut. Embun tak pernah terlihat lagi. Manusia-manusia menghentikan segala doa dan persembahan kepada dewa-dewi karena putus asa dan kehabisan bahan yang harus dipersembahkan.

Beberapa manusia yang masih hidup adalah yang mampu mengetahui beberapa mata air tersembunyi di sela-sela bebatuan gua di pedalaman hutan, yang kini gersang dan mengering rapuh.

Khayangan mulai bergetar. Tanpa doa dan pujian persembahan manusia, makhluk-makhluk khayangan nulai melemas dan tak berdaya. Sang kaisar langit sendiri hanya terduduk lemas di takhtanya, tak mampu berbuat apa-apa lagi. Dalam keadaan ini, tiba-tiba ada suatu kekacauan besar yang menyeruak.

"Perhatian! Barisan balatentara siap menghadang pemberontak!!!" seruan kepala pengawal itu membuat seluruh khayangan terjaga.

Ternyata sesosok makhluk gaib berpakaian serba hitam dengan rambut kelam panjangnya sedang menyapu bersih ribuan penjaga istana khayangan. Para penjaga yang lemas itu dengan mudahnya dilenyapkan olehnya dengan satu tendangan atau satu tapakkan saja. Dalam waktu yang singkat, ia berhasil berhadap-hadapan dengan sang kaisar langit.

"Siapa kau?" tanya Kaisar langit sambil bergetar menghadapi sosok wanita misterius itu.

"Kau masih ingat aku? Aku datang untuk membalaskan dendamku!" Dengan perlahan wanita misterius itu membuka selubung di wajahnya.

"Kau...!" Perkataan sang kaisar tertahan sejenak sambil memicingkan matanya,"kau dewi kesuburan?"

"Kau masih mengenalku? Sebentar lagi kau harus menyerahkan dari takhta itu padaku."

"Tapi bagaimana mungkin kau bisa sekuat ini?"

"Kau masih juga sempat bertanya di ambang kejatuhanmu ini tua bangka tak berguna!!" Dewi kesuburan mengeluarkan sesuatu dari dalam jubahnya. Segera sinar berwana ungu tua menyeruak melingkupi istana langit.

"Ja...jadi kau adalah pencuri air mata abadi? Kurang ajar!!!" Dengan sisa kekuasaan yang tersisa, sang kaisar mencabut pedang perak megasamsara miliknya, pedang yang biasanya digunakan untuk melumpuhkan dan mengurung makhluk khayangan yang memberontak.

Desingan peperangan tak terelakkan. Jual beli serangan terjadi di antara keduanya. Sang dewi mampu mengelak dari setiap tebasan pedang sang kaisar, namun sang kaisar tak mau kalah. Ia mencari celah untuk menancapkan pedangnya dan... "clebb!" Pedang itu akhirnya menembusi jantung sang dewi. Sang dewi berdiri mematung, namun kaisar tetap waspada.

Sesaat kemudian sebuah senyuman terbit di wajah sang dewi. Tangannya mulai terulur menggenggam pedang yang tertancap.

"Crottttt..." Pedang itu kembali dicabutnya perlahan dan dibuangnya dengan santai. Luka yang menganga di dadanya kembali menutup dengan sempurna. Kekuatannya langsung pulih begitu saja. Sang dewi tertawa berderai-derai sedangkan sang kaisar mulai bergetar ketakutan.

"Hanya itu kekuatanmu? Aku harus katakan satu hal. Setiap dewa atau dewi yang kau usir akan mendapatkan kekuatan bukan dari pemujaan manusia tetapi dari kutukan dan kemarahan mereka terhadap dewa-dewi yang selama ini mereka puja. Ketika kau mengusirku, kau telah menciptakan nerakamu sendiri!!!"

Sang kaisar bergetar lemah, mundur setapak demi setapak, sementara sang dewi mulai mengancam terus maju.

"Mau lari ke mana baginda yang tak berguna?" Suara berat yang berasal dari arah belakang itu mengejutkan sang kaisar."

"Mahapatih? Tolong aku. Segera musnahkan pemberontak keji ini!" kata sang kaisar memohon.

"Apa? Memusnahkan? Jadi kau menyuruhku memusnahkan calon permaisuriku?" Sebuah senyuman sinis mengambang di wajah mahapatih.

"Jadi, kaulah pengkhianat yang sebenarnya selama ini? Bedabah!!!" Sang kaisar dengan tenaganya yang tersisa berusaha menghalau sang mahapatih juga, tetapi tenaga yang mamancar dari telapak tangannya sudah terlalu lemah. Tenaga itu malah dibalikkan dengan mudahnya oleh sang mahapatih. Sang kaisar terpentaldari hadapan kedua pemberontak itu. Kini nampaknya sang raja langit itu tak punya pembela lagi. Kedua pemberontak itu tertawa puas.

"Kau masih bingung raja tua? Kau bingung mengapa aku tak ikut melemah bersama kalian? Aku diberi kuasa melalui darah dewi kesuburan yang telah kuminum. Kekuatannya adalah kekuatanku juga. Sebagai imbalan, kuberikan dia mata air abadi itu. Dan kau tahu rencana kami? Takhta langit akan menjadi milik kami. Aku rajanya dan dialah ratunya!"

Kedua pemberontak itu tertawa puas melihat raja yang pernah sangat berkuasa itu kini terkapar tak berdaya.

"Baiklah. Kalian boleh memiliki takhta itu sekarang dan akurela terkurung di kawah gunung Merapi selamanya oleh kalian. Tapi tolong, gunakanlah kebaikan dalam memerintah."

"Kami tak butuh nasehatmu. Karena sekarang juga, takhta ini telah menjadi milik kami!" Seru sang dewi garang.

"Tidak semudah itu!!!" Tiba-tiba saja suatu seruan melengking meluncur dari belakang sang dewi dan..."clebbb!"...sebuah pisau perak mengkilap menancap dengan kokoh menembusi punggung sang dewi.

Sang dewi pemberontak itu tak dapat bergerak lagi. Senyumannya beku dan dihiasi oleh seringai kesakitan. Ia menoleh ke belakang pada sosok berkabut yang belum sempat dikenalinya itu.

"Si...siapa kau?" tanya dewi pemberontak itu terbata-bata karena darah hitamnya mulai mengalir memenuhi kerongkongannya.

"Akulah sang pembela kebenaran. Aku hanya ingin agar pemimpin yang sah tetap menduduki takhta itu."

"Kau Aryabuana? kau tega melukai ibumu sendiri!"

"Ibu yang kukenal adalah seorang yang penuh kasih sayang, bukan wanita serakah dan suka mengumbar nafsu!" ujar Aryabuana tegas.

"Beberapa detik kemudian sorot mata sang dewi mulai meredup, badannya mulai melemas dan roboh. Di sebelahnya sang mahapatih juga sedang mengerang kesakitan. Hujaman pisau itu pun dialami olehnya.Sebab apa yang dirasakan oleh sang dewi, dirasakan juga oleh sang mahapatih. Beberapa detik saja ia pun roboh.

"Aryabuana, cepat kau taruh kembali air abadi ini pada tempatnya sebelum dunia yang kau kenal ini binasa dan kiamat!" Perintah sang kaisar dilaksanakan dengan cekatan oleh sang bocah penyelamat itu.

***

Hujan deras membasahi bumi tak henti-hentinya dan halilintar sambar menyambar. Semua orang turun ke jalan-jalan sambil menari-nari, memanjatkan doa pujian kepada sang kaisar langit.

Khayangan mulai pulih. Energi baru mulai merasuki roh-roh dewa-dewi yang terkulai. Sebuah pesta besar tercetus di khayangan, merayakan kembalinya takhta sang kaisar dari tangan sang pemberontak.

Kedua pemberontak keji itupun dikurung selamanya di perut gunung Merapi, semetara Aryabuana dianugerahi kehormatan sebagai mahapatih yang baru. Dengan demikian, dialah satu-satunya mahkluk berdarah campuran yang berada di khayangan.

"Mengapa aku dapat melumpuhkan kedua pemberontak kejam itu? Bukankah aku juga melakukan hal yang telah paduka lakukan?" tanya Aryabuana ketika ia duduk dekat kaisar pada podium pesta langit saat itu.

"Jawabannya sederhana nak. Kau memiliki darah yang juga mengalir pada jiwa pemberontak itu. Darah menghubungkan kekuatan!"

Jawaban singkat sang kaisar membuat Aryabuana hanya bisa tercenung. Sementara itu pesta di khayangan maupun di bumi kian semarak.

*) Cerita ini terinspirasi dari beberapa mitologi rakyat dari Cina, Yunani dan Jawa.

(Timika, November 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun