Setelah menelaah tiga perspektif tersebut, kita dapat menarik beberapa kesimpulan:
- Wujud Keadilan Versi Rawls: UU HPP secara filosofis paling selaras dengan prinsip keadilan John Rawls , yang fokus melindungi kelompok paling rentan dengan membebankan lebih banyak kepada yang paling mampu.
- Nuansa Berlin:Â UU ini juga mencerminkan upaya pragmatis untuk menyeimbangkan kebebasan negatif individu dan kebebasan positif masyarakat, seperti yang dianalisis oleh Isaiah Berlin.
Penolakan Machan: Di sisi lain, UU ini akan selalu ditolak oleh pandangan libertarian yang menganggap segala bentuk pajak sebagai pelanggaran hak.
Merangkai Sistem Pajak yang Adil, Sederhana, dan Berkesadaran
Reformasi perpajakan melalui UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) telah memicu diskusi mendalam tentang keadilan. Namun, sistem pajak yang ideal tidak hanya harus adil secara filosofis, tetapi juga harus efektif, efisien, dan berkelanjutan di masa depan.
Berdasarkan tiga perspektif filosofis utama, John Rawls (Keadilan), Isaiah Berlin (Kebebasan), dan Tibor Machan (Libertarian), kita dapat merumuskan langkah-langkah strategis untuk menyempurnakan sistem perpajakan Indonesia.
1. Dari Perspektif Rawls: Keadilan sebagai Prioritas Utama
John Rawls menekankan bahwa keadilan diukur dari seberapa baik sistem melindungi kelompok yang paling lemah . Saat ini, ada kekhawatiran bahwa kelompok berpenghasilan rendah masih tertekan karena dua faktor utama:
Revisi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP terakhir direvisi pada tahun 2016 (menjadi Rp54 Juta untuk lajang/TK/0). Padahal, tingkat inflasi dan biaya hidup terus meningkat.
Arah Kebijakan:
- Pemerintah perlu menaikkan PTKP untuk memastikan batas minimum penghasilan yang bebas pajak benar-benar dapat menopang hidup layak bagi kelompok bawah.
- Memberi Perlakuan Khusus Keluarga Rentan: Memberikan subsidi pajak (seperti tax credit ) bagi keluarga rentan, misalnya untuk orang tua tunggal atau keluarga dengan tanggungan banyak, untuk mengurangi beban pajak mereka secara spesifik.