Kami ngopi di samping warung. Sebuah tempat mangkal yang baru saja didirikan olehnya dan beberapa pedagang lain yang berjualan di lokasi yang sama.Â
 "Sepi ya, tidak ada yang jualan hari ini bang," tanyaku padanya sembari meneguk kopi yang diseduhnya.
"Iya bang, biasa kalau hari libur banyak yang ngak jualan. Di sini kan kawasan perkantoran jadi ramai kalau hari kerja. Kalau bukan hari kerja ya sepi. Nombok kalau jualan" jawabnya sembari memperbaiki sebuah kabel yang hendak dipakai untuk meyambungkan lampu dari warung ke pangkalan.
Saya tak menyambung lagi obrolan itu selama beberapa saat lantaran ia sedang sibuk memperbaiki penerangan di pangkalan. Hingha segelas kopi habis, saya putuskan memesan segelas lagi.
"Orang timur kuat minum kopi ya," ledeknya.
"Ah tidak bang, kebetulan pengen ngopi aja dan malas di kamar," sahutku.
"Saya banyak teman dari Timur. Dari ambon dan NTT," sambungya lagi.
"Oh gitu ya bang," jawabku lagi sembari memungut ingatan. Pantas saja pertama kali bertemu ia langsung akrab dan membangun komunikasi dengan saya.
Roby pun bercerita satu persatu kenalannya dan bagaimana permulaan ia bisa akrab dengan orang timur. Katanya, ia dulu waktu SMP merupakan siswa yang sering di bully. Fisiknya yang kecil menjadikannya sasaran empuk siswa lain.
Tak jarang ia harus pulang sekolah dengan keadaan babak belur digebukin. Namun saat SMA, ia mulai dekat dengan beberapa siswa dari timur dan masih kerabat dekat salah satu sosok "gangster" dari timur yang menguasai beberapa wilayah di Jakarta.
Kedekatannya ini kemudian membuat mentalnya tumbuh dan ia tidak takut sama siapapun. Ia akan melawan siapapun yang menantangnya. Kedekatannya ini merubah perilaku sosialnya. Rumahnya bahkan sampai menjadi tempat nongkrong mereka.Â