Memacu sepeda motornya membela jalanan. Memanjakan diri dan lupa tujuan. Keteguhan bahwa kuliah hanyalah kamuflase kehidupan memperkuatnya. Tugas akhir bisa dikerjakan sehari dua hari, beres.
Berhari-hari lamanya Ia terkurung dalam penyesalan. Andai saja Ia tak berleh-leha, atau membuang waktu maka tak ada surat cinta akan batas studi yang Ia terima.Â
Mungkin saja Ia sudah memakai toga kebesaran universitas bersama sahabat-sahabatnta yang dua tahun belakangan sudah kembali ke daerah satu persatu. Apa daya tak ada teori kembali ke masa lalu seperti di film-film.Â
Hingga, dalam suatu kesempatan, Seorang sahabat berkunjung. Sahabat yang Ia kenal dua tahun lalu di salah satu desa. Kedatanganya tak ubahnya seorang sahabat yang rindu tawa.Â
Lalu, menyeret mahasiswa ini ke kedai kopi yang belum pernah dikunjungi. Dua gelas kopi dan kretek diudut. Berlakulah curahan hati atas dilema yang dihadapi.
Sang sahabat menyaksikan dengan sunguh-sungguh lalu memberikan petuah " Sabarlah dan jangan ambisius, kerjakanlah secara perlahan. Ada Allah SWT yang akan menolongmu.,"
Petuah ini seakan membersihkan dilemanya. Â Tercerahkan. Seakan semua masalah yang dihadapinya seketika menemukan jawaban. plong.
Bersemangatlah Ia. Hari itu menjadi pelajaran berharga. Niat dan tekad terkumpul penuh. Semacam terupgrate perangkat baru.Â
Mulailah Ia mengerjakan selembar demi selembar. Intens Menemui pembimbing yang jarang ditemui. Memeperbaiki setiap masukan dan  arahan. Masalah satu demi satu dihadapi. Masa tiga bulan adalah pertaruhan.
Tak ada keluhan apalagi mengurung diri karena kegagalan. Hingga menjelang tiga bulan, dua hari setelah masa studi dianggap selesai, Ia berhasil. Mempertahankan karya Ilmiahnya dihadapan penguji.
Dua bulan setelahnya, Ia diwisuda. Walau Ia satu-satunya mahasiswa tetakhir di angkatannya.Â