Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita di Balik Kebingungan Nur

27 Agustus 2021   18:41 Diperbarui: 27 Agustus 2021   18:56 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah pertanyaan muncul di kepala Nur ketika Jumaidi tak jadi meladang pada hari itu. Istrinya itu seketika terkejut, tatkala pukul delapan, ia yang tengah menjemur pakaian di samping rumah  melihat Jumaidi dari kejauhan pulang dengan pakaian yang nyaris tak berlumpur dengan membawa cangkul yang juga tak bernoda. Sisa jemuran di dalam ember segera ia tinggalkan dan menghampiri suaminya dengan tergesa-gesa.

"Tak jadi kau meladang, Jum?"

Suaminya tak menjawab.

"Kenapa? Sakit kau?"

Jumaidi menatap mata Nur, "tidak, Nur. Aku tak ingin meladang lagi,"

"Apa kata Pak Basri nanti bila mengetahui ladangnya nganggur?" Nur mengkerutkan keningnya sambil berkacak pinggang.

Tanpa membalas, Jumaidi berlalu masuk ke dalam meninggalkan Nur yang masih dibaluti oleh pertanyaannya. Nur lama berdiri. Detak jantungnya kian lama kian cepat. Ketika amarahnya sampai di puncak, hingga muncul urat nadi di pelipis kirinya, ia berjalan menyusul suaminya yang sedang minum air seraya memandang ayam-ayam mengais tanah di halaman belakang.

Jumaidi tidak sadar tingkahnya membuat istrinya naik pitam. Jadi Jumaidi sedikit tersedak ketika Nur tiba-tiba berdiri di hadapannya, menutupi pandangannya dari ayam-ayam itu, dan merepet-repet dengan dua bola mata coklat yang tegang.

Diungkitnya oleh Nur akan alasannya menerima Jumaidi sebagai suaminya, karena Jumaidi pekerja keras, membuat hati Jumaidi sedikit terketuk. Dan hampir menampar pipi Nur ketika ia mulai mengaitkan tititnya yang kecil, tidak pernah memuaskan Nur di ranjang.

Jadilah pertengkaran itu tiada ujung. Untungnya anak-anak mereka sedang sekolah, jadi mereka tidak melihat betapa kekanak-kanakannya dua orang itu. Hanya si bungsu yang tertidur dengan tenang di kamar.

Jumaidi orang yang penyabar. Amarahnya yang membuncah selalu bisa dikendalikan dengan baik. Jadi hanya nada Nur yang tinggi, sedangkan Jumaidi diam. Kadang-kadang saja membalas dengan lembut.

Nur benar, suaminya itu memang pekerja keras. Tiada hari tiada bekerja., kecuali sakit. Pernah suatu ketika kemarau panjang menimpa Kampung Peletuk, orang-orang tidak dapat meladang. Mereka memilih bersantai di rumah. Tetapi Jumaidi berbeda, ia mengalih menjadi petani karet, menggantikan temannya, dan jatahnya pun dibagi dua.

Jadi ketika Nur mendengar Jumaidi yang entah mengapa tidak mau lagi meladang, tentulah membuatnya kesal. Mereka sudah beranak lima, kelima-limanya mereka niatkan untuk sampai sarjana. Tapi, jika Jumaidi tak lagi meladang, bagaimana mereka mampu menyekolahkan mereka semua, sedang uang tak ada.

"Suamiku, coba kau pikir dengan otakmu, seandainya memang kau tak lagi meladang, apa yang kan kau lakukan? Anak-anakmu mau kau beri makan apa? Mau kau sekolahkan dengan apa?"

Jumaidi tiada menjawab.

"Jawab Jum!"

Mata Nur mulai berair, lantas merembes deras saat kedua tangan Jumaidi meraih pipinya. Jari-jemari yang kasar itu mengusap lembut air matanya seraya berkata pelan, "Sudah, Nur. Aku sedang banyak pikiran, lebih baik bikinkan aku kopi. Nanti biar aku yang menjemur sisa baju di ember itu."

Nur menggerutu, lalu berlari masuk ke dalam kamar dan menangis. Isak tangisnya ditahan-tahan, supaya si bungsu tidak terbangun. Basah sudah bagian atas bantal guling yang dipeluk Nur. Begitupun kain di ujung lengan bajunya.

Jumaidi masih berdiri menatap ayam-ayam itu. Pikirannya mengawang-awang untuk Nur. Ia ingin jadi sandaran Nur kala itu. Tetapi takut dapat memperburuk keadaannya. Di sudut hatinya ia merasa bersalah, tetapi di satu sisi ia juga merasa apa yang ia lakukan adalah hal yang benar, dan baik baginya juga istrinya. Oleh sebab itu, biarlah Nur sendiri, menenangkan pikirannya. Setelah itu barulah bisa menceritakan semuanya dan bagaimana jalan keluarnya, begitu pikir Jumaidi.

Ketika azan zuhur berkumandang, Jumaidi tengah duduk terlelap di kursi di depan TV analog yang dinyalakan, setelah lelah menjemur sisa kain di ember dan menyapu dedaunan kering di halaman depan. Matanya terbuka mendengar pernak-pernik hiasan yang bergelantungan di depan pintu saling beradu ketika Nur keluar dari kamar. Dengan mata memerah yang sedikit membengkak, Nur berjalan tanpa sedikitpun melirik kepadanya ke kamar mandi, mengambil wudhu, lalu kembali masuk ke dalam kamar dan mengunci pintu.

Ada sesuatu yang dipendam Jumaidi, ia takut Nur sakit hati bila ia mengatakannya. Hal itu yang terus membebani pikirannya sedari tadi. Dan ketika melihat keadaan Nur tidak membaik, daripada keadaan malah bertambah parah, lebih baik baginya untuk tidak berada di rumah sepanjang hari itu. Biarlah Nur menikmati kesendiriannya dulu, pikirnya. Jumaidi pun keluar dari rumah, jalan-jalan mencari angin melepas kejenuhan, meninggalkan Nur yang tengah sembahyang seorang diri di dalam kamar.

Jumaidi terus berjalan tanpa tujuan. Awan-awan bertebaran di angkasa, di antaranya melindungi Jumaidi dari teriknya matahari, menggantikan topi jerami yang biasa ia pakai. Berpetak-petak ladanga terhempas memanjang di sekitarannya. Di beberapa balai kayu kecil yang tersebar di beberapa tempat,,  tampak ibu-ibu dan bapak-bapak sedang beristirahat menyantap makan siang. Kebanyakan sawah-sawah itu sudah mulai ditumbuhi tunas berbagai macam tanaman, kebanyakan jagung. Dan di salah satu ladang itu, ada punya Pak Basri, tapi terlihat sepi di sana.

Jumaidi tak sadar, lantas ia sedikit panik mengetahui ladang-ladang yang mengelilinginya mendadak hilang berganti dengan pepohonan yang menjulang tinggi di kiri dan kanan. Tanpa sadar ia sudah masuk ke dalam hutan. Sinar matahari pun sudah tertutup oleh daun pokok-pokok kayu yang rimbun. Tetapi, Jumaidi tak peduli. Tak ada keraguan ia terhadap hutan yang jarang terjamah manusia itu. Tak takut ia bila sewaktu-waktu lupa akan jalan pulang dan tersesat selamanya.

Terus saja ia berjalan di kegelapan hutan. Berharap menemukan tempat yang menurutnya bisa memberi ruang untuknya berpikir. Lalu dari kejauhan, Jumaidi melihat asap tebal mengepul di udara. Ia berjalan ke sana tergesa-gesa dan bertemu dengan seorang lelaki tua. Rambutnya putih, dan pakaiannya sangat sederhana; kaos putih lusuh yang sudah koyak, dan celana panjang yang di pinggangnya melingkar kain sarung hitam. Serupa Jumaidi, tetapi pakaian Jumaidi lebih layak. Ia tengah uduk tepat di hadapan api unggun yang menjadi sumber asap yang dilihat Jumaidi sebelumnya.

Lelaki tua itu tetap memejamkan matanya. Padahal jejak kaki Jumaidi jelas mengeluarkan suara kriak kriuk ketika menginjak daun-daun kering, tetapi lelaki tua itu tak hirau. Untuk sekedar melirik saja tidak, matanya terus terpejam. Jumaidi yang penasaran segera duduk berseberangan dengan lelaki itu, api unggun sebagai pembatas keduanya.

"Lebih baik kau pulang, memeluk istrimu, lalu keluar dari kampung ini!"

Jumaidi kaget, ia merasa laki-laki itu bisa membaca pikirannya. Jumaidi sedikit merasa was-was, mundur beberapa langkah kemudian bertanya, "kau siapa? Nabi?"

"Bukan bodoh!" lelaki tua itu kesal. Lalu dengan matanya yang terpejam, ia berkata lagi dengan pelan, "bawa istrimu pergi dari kampung ini. Tak usah kau dengar segala cemoohan mereka, selama kau masih menyayangi istrimu, jagalah dia!"

Jumaidi kikuk. Lalu terperangah. Berulang kali ia menelan ludahnya tak percaya. Perkataan lelaki tua itu tepat sasaran. Inilah sesuatu yang ia harapkan dapat membantunya menemukan jawaban atas kegelisahannya. Lalu tanpa membuang kesempatan, ia mulai bercerita, "bagaimana tidak mendengar cemoohan mereka, bung. Bukannya bernyanyi untuk melepas penat sehabis meladang, mereka malah mencemooh hubunganku dengan istriku. Ada yang bilang istriku seorang pelacur, jelas itu tidak benar. Hampir saja kupacul kepala orang yang bilang itu, untungnya ada yang menahan."

"Apa yang mereka katakan itu benar. Maaf, tapi Nur memang mempersundal dirinya demi kau dan anak-anakmu. Ikan dan daging yang ada di perutmu itu semua berkat istrimu. Semua orang juga tahu, peladang seperti kau itu tak mungkin mampu menghidupi bahkan sampai menyekolahkan empat orang anakmu. Sekolah sangat mahal sekarang, kau tau itu. Sudah, lebih baik kau cepat pergi dari sini sebelum gelap, sebab nanti kau tentu tersesat."

Cukup lama ia berpikir, akhirnya mengakuinya. Sebab Jumaidi ingat akan tingkah Nur yang beberapa malam dalam sebulan sering kedapatan tidak berada di kasur, dan esok paginya sudah tersaji ikan-ikan segar. Terkadang daging panggang di atas meja, yang rasanya tak mungkin terbeli oleh mereka. Dan ketika Jumaidi bertanya, "dari mana?" dengan santai Nur bilang, dari rumah ibunya. Jumaidi percaya dengan alasan itu, karena memang jaraknya dekat, dan kini ia merasa kecewa. Tetapi perkataan itu tak terlalu membuat Jumaidi terkejut, melainkan semakin penasaran. Siapa gerangan lelaki itu?

"Kuharap kau tidak berdusta, tapi izinkan aku bertanya," Jumaidi memperhatikan sekujur tumbuh lelaki tua itu dengan menyatukan alisnya, "kau itu siapa? Kenapa tahu hal tentangku?"

Setelah menghela nafasnya yang berat, si lelaki tua itu akhirnya membuka mata untuk pertama kalinya. Ada kehijauan muda ditengah-tengah hitam matanya, dan di bagian putihnya sedikit kekuningan. Mata itu kotor sekali, lantas lelaki itu menjawab, "aku adalah kamu, Jum! Segera pergi dari sini sebelum gelap. Sebelum kau bernasib sama denganku, mati tersesat di hutan ini."

Jumaidi langsung terkaget-kaget, terperanjat, lantas bangkit dan berlari terbirit-birit meninggalkan lelaki tua itu seorang diri. Otaknya bekerja hebat ketika berlari untuk mengingat jalan keluar dari hutan itu, sembari sesekali melihat ke belakang. Ia takut jika laki-laki itu mengejarnya.

Lalu setelah sekitar empat jam berputar-putar tanpa arah mencari jalan pulang. Hingga langit yang semula terang kini gelap berbintang, akhirnya ia menemukan jalan setapak yang kiri-kanannya terhampar ladang. Itu semua berkat satu obor yang menyala terang di salah satu gubuk. Jumaidi melompat-lompat kegirangan. Mengucap syukur dan beranjak pulang.

Ketika sampai di teras rumahnya. Dengan penuh peluh di bajunya, Jumaidi lemas mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Ia ketuk lagi. Lalu terdengar jejak kaki dari arah dalam. Pintu pun terbuka. Nur terkejut mendapati Jumaidi sudah bermandi keringat memeluknya tiba-tiba.

Nur tidak melawan. Ia membiarkan lelaki kecintaannya itu memeluknya dengan erat. Deru nafas Jumaidi yang terengah-engah terdengar merdu di telinganya. Lalu setelah merasa agak tenang, Jumaidi yang masih memeluk tubuh istrinya, mendekatkan bibirnya ke telinga Nur, "Nur, aku sangat mencintaimu, terima kasih sudah mencintaiku, terima kasih untuk semuanya, Nur."

Nur mengapit kedua alisnya, "kau kenapa, Jum?"

"Tidak ada apa-apa. Tapi aku ada satu pertanyaan untukmu,"

"Apa itu?"

"Apa benar selama ini kau melacur?"

Nur diam tidak menjawab. Ketika ia ingin melepas pelukannya, Jumaidi menahannya dengan erat.

"Baiklah. Tidak mengapa Nur, aku masih mencintaimu."

Raut wajah Nur seketika berubah. Ada senyum di wajahnya. Pipinya merah merona. Dengan matanya yang terpejam dan dahi yang bersandar pada dada Jumaidi, Nur berbisik terima kasih .

Tapi setelah itu. Jumaidi berguman di dalam hati, "maaf Nur, tapi aku tak bisa hidup dengan fakta itu,"

Angin tiba-tiba bertiup membawa aroma gurih kangkung tumis dan ikan goreng dari dalam rumah, membuat perut Jumaidi bergemuruh. Nur terkekeh, kemudian mengajaknya masuk ke dalam dan menyuruhnya mandi terlebih dulu sebelum duduk berkumpul di meja makan bersama anak-anaknya.

Di malam itu, muncul kebahagiaan yang tidak pernah Nur rasakan sebelumnya. Sesuatu yang membuatnya tersenyum-senyum di dalam hati, ketika ia tahu suaminya tidak membencinya karena mencari duit dengan melacur. Hal itu yang membuat Nur gelisah sepanjang hidupnya selama ini.

Kejadian itu pun membuatnya berjanji untuk tidak melakukannya lagi. Meskipun ia tidak tahu perihal apa yang sudah menimpa suaminya. Nur tidak peduli. Kebingungan yang bermunculan di kepala, di tepisnya berulang kali. Nur merasa lebih baik tidak bertanya dan menunggu sampai Jumaidi mau menceritakannya.

Di meja makan, Nur beserta anak-anaknya sedari tadi menunggu suami dan ayah mereka yang tidak keluar-keluar dari kamar mandi. Makanan sudah tersaji. Anak-anak tampak beberapa kali menelan ludah menatap kepulan asap dan aromanya yang begitu menggoda. Tapi Nur memaksa mereka untuk menunggu.

Hingga akhirnya, anak keempat mulai rewel kelaparan. Terpaksa Nur meminta si sulung untuk memanggil ayahnya. Dan ketika ia membuka pintu kamar mandi, yang ternyata tidak dikunci, ia malah menemukan ayahnya sudah terlilit tali ember di dalam sumur.

Sontak si sulung berteriak dan membuat seisi rumah histeris. Tapi si bungsu yang bijaksana, tetap terlelap tenang di antara ingar-bingar keluarga itu.[]

Banda Aceh, 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun