Jumaidi langsung terkaget-kaget, terperanjat, lantas bangkit dan berlari terbirit-birit meninggalkan lelaki tua itu seorang diri. Otaknya bekerja hebat ketika berlari untuk mengingat jalan keluar dari hutan itu, sembari sesekali melihat ke belakang. Ia takut jika laki-laki itu mengejarnya.
Lalu setelah sekitar empat jam berputar-putar tanpa arah mencari jalan pulang. Hingga langit yang semula terang kini gelap berbintang, akhirnya ia menemukan jalan setapak yang kiri-kanannya terhampar ladang. Itu semua berkat satu obor yang menyala terang di salah satu gubuk. Jumaidi melompat-lompat kegirangan. Mengucap syukur dan beranjak pulang.
Ketika sampai di teras rumahnya. Dengan penuh peluh di bajunya, Jumaidi lemas mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Ia ketuk lagi. Lalu terdengar jejak kaki dari arah dalam. Pintu pun terbuka. Nur terkejut mendapati Jumaidi sudah bermandi keringat memeluknya tiba-tiba.
Nur tidak melawan. Ia membiarkan lelaki kecintaannya itu memeluknya dengan erat. Deru nafas Jumaidi yang terengah-engah terdengar merdu di telinganya. Lalu setelah merasa agak tenang, Jumaidi yang masih memeluk tubuh istrinya, mendekatkan bibirnya ke telinga Nur, "Nur, aku sangat mencintaimu, terima kasih sudah mencintaiku, terima kasih untuk semuanya, Nur."
Nur mengapit kedua alisnya, "kau kenapa, Jum?"
"Tidak ada apa-apa. Tapi aku ada satu pertanyaan untukmu,"
"Apa itu?"
"Apa benar selama ini kau melacur?"
Nur diam tidak menjawab. Ketika ia ingin melepas pelukannya, Jumaidi menahannya dengan erat.
"Baiklah. Tidak mengapa Nur, aku masih mencintaimu."
Raut wajah Nur seketika berubah. Ada senyum di wajahnya. Pipinya merah merona. Dengan matanya yang terpejam dan dahi yang bersandar pada dada Jumaidi, Nur berbisik terima kasih .