Mohon tunggu...
Ilmiawan
Ilmiawan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Lagi belajar nulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita di Balik Kebingungan Nur

27 Agustus 2021   18:41 Diperbarui: 27 Agustus 2021   18:56 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jumaidi tak sadar, lantas ia sedikit panik mengetahui ladang-ladang yang mengelilinginya mendadak hilang berganti dengan pepohonan yang menjulang tinggi di kiri dan kanan. Tanpa sadar ia sudah masuk ke dalam hutan. Sinar matahari pun sudah tertutup oleh daun pokok-pokok kayu yang rimbun. Tetapi, Jumaidi tak peduli. Tak ada keraguan ia terhadap hutan yang jarang terjamah manusia itu. Tak takut ia bila sewaktu-waktu lupa akan jalan pulang dan tersesat selamanya.

Terus saja ia berjalan di kegelapan hutan. Berharap menemukan tempat yang menurutnya bisa memberi ruang untuknya berpikir. Lalu dari kejauhan, Jumaidi melihat asap tebal mengepul di udara. Ia berjalan ke sana tergesa-gesa dan bertemu dengan seorang lelaki tua. Rambutnya putih, dan pakaiannya sangat sederhana; kaos putih lusuh yang sudah koyak, dan celana panjang yang di pinggangnya melingkar kain sarung hitam. Serupa Jumaidi, tetapi pakaian Jumaidi lebih layak. Ia tengah uduk tepat di hadapan api unggun yang menjadi sumber asap yang dilihat Jumaidi sebelumnya.

Lelaki tua itu tetap memejamkan matanya. Padahal jejak kaki Jumaidi jelas mengeluarkan suara kriak kriuk ketika menginjak daun-daun kering, tetapi lelaki tua itu tak hirau. Untuk sekedar melirik saja tidak, matanya terus terpejam. Jumaidi yang penasaran segera duduk berseberangan dengan lelaki itu, api unggun sebagai pembatas keduanya.

"Lebih baik kau pulang, memeluk istrimu, lalu keluar dari kampung ini!"

Jumaidi kaget, ia merasa laki-laki itu bisa membaca pikirannya. Jumaidi sedikit merasa was-was, mundur beberapa langkah kemudian bertanya, "kau siapa? Nabi?"

"Bukan bodoh!" lelaki tua itu kesal. Lalu dengan matanya yang terpejam, ia berkata lagi dengan pelan, "bawa istrimu pergi dari kampung ini. Tak usah kau dengar segala cemoohan mereka, selama kau masih menyayangi istrimu, jagalah dia!"

Jumaidi kikuk. Lalu terperangah. Berulang kali ia menelan ludahnya tak percaya. Perkataan lelaki tua itu tepat sasaran. Inilah sesuatu yang ia harapkan dapat membantunya menemukan jawaban atas kegelisahannya. Lalu tanpa membuang kesempatan, ia mulai bercerita, "bagaimana tidak mendengar cemoohan mereka, bung. Bukannya bernyanyi untuk melepas penat sehabis meladang, mereka malah mencemooh hubunganku dengan istriku. Ada yang bilang istriku seorang pelacur, jelas itu tidak benar. Hampir saja kupacul kepala orang yang bilang itu, untungnya ada yang menahan."

"Apa yang mereka katakan itu benar. Maaf, tapi Nur memang mempersundal dirinya demi kau dan anak-anakmu. Ikan dan daging yang ada di perutmu itu semua berkat istrimu. Semua orang juga tahu, peladang seperti kau itu tak mungkin mampu menghidupi bahkan sampai menyekolahkan empat orang anakmu. Sekolah sangat mahal sekarang, kau tau itu. Sudah, lebih baik kau cepat pergi dari sini sebelum gelap, sebab nanti kau tentu tersesat."

Cukup lama ia berpikir, akhirnya mengakuinya. Sebab Jumaidi ingat akan tingkah Nur yang beberapa malam dalam sebulan sering kedapatan tidak berada di kasur, dan esok paginya sudah tersaji ikan-ikan segar. Terkadang daging panggang di atas meja, yang rasanya tak mungkin terbeli oleh mereka. Dan ketika Jumaidi bertanya, "dari mana?" dengan santai Nur bilang, dari rumah ibunya. Jumaidi percaya dengan alasan itu, karena memang jaraknya dekat, dan kini ia merasa kecewa. Tetapi perkataan itu tak terlalu membuat Jumaidi terkejut, melainkan semakin penasaran. Siapa gerangan lelaki itu?

"Kuharap kau tidak berdusta, tapi izinkan aku bertanya," Jumaidi memperhatikan sekujur tumbuh lelaki tua itu dengan menyatukan alisnya, "kau itu siapa? Kenapa tahu hal tentangku?"

Setelah menghela nafasnya yang berat, si lelaki tua itu akhirnya membuka mata untuk pertama kalinya. Ada kehijauan muda ditengah-tengah hitam matanya, dan di bagian putihnya sedikit kekuningan. Mata itu kotor sekali, lantas lelaki itu menjawab, "aku adalah kamu, Jum! Segera pergi dari sini sebelum gelap. Sebelum kau bernasib sama denganku, mati tersesat di hutan ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun