Mohon tunggu...
Nurulloh
Nurulloh Mohon Tunggu... Jurnalis - Building Kompasiana

Ordinary Citizen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Ada Apa dengan Kompasiana?

27 Februari 2020   10:01 Diperbarui: 27 Februari 2020   13:26 1747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Pengelolaan bisnis media dan user generated content/pixabay

Judul ini saya gunakan bukan perkara agar kamu penasaran, karena saya yakin karakter Rangga yang tetiba jadi sangat melankolis dan puitis sejak tinggal di Brooklyn, NY dalam lanjutan cerita "Ada Apa dengan Cinta? 2" lebih bikin penasaran.

Pun, isinya sekadar menjelaskan dan tidak akan setega Rangga, sampai-sampai Cinta harus bilang, "Rangga, yang kamu lakukan ke saya itu jahat!".

Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir banyak laporan terkait iklan di halaman muka dan baca (read page) Kompasiana. Sebagian besar menyangkut banner iklan gambar dan video yang (kadang) tidak bisa ditutup atau bahkan tidak tersedianya fitur close button.

Ditambah, ada beberapa Kompasianer mendapati iklan video tersebut otomatis berputar atau autoplay sehingga berpotensi menguras kuota internet selular yang kini menjadi kebutuhan primer netizen yang budiman.

Ada pula aduan soal materi gambar dalam iklan yang menimbukan rasa jijik atau mengerikan yang  kerap muncul pada halaman baca bagian bawah.

Soal kecepatan dalam membuka halaman (load page) Kompasiana jadi hal lain lagi. Kompasianer berekspektasi bahwa banyaknya iklan membuat load page makin lambat sehingga halaman tidak terbuka dengan sempurna.

Laporan, keluhan atau protes menyangkut isu di atas sebenarnya sudah dijelaskan secara parsial dan sebagian besar solved karena memang ada kendala teknis dalam implementasinya.

Tetapi, izinkan saya untuk kembali menjelaskan perihal aduan-aduan tersebut agar tidak seperti akhir perjalanan cinta Kasdullah kepada Sarah dalam saga "Si Doel The Movie" yang kena tanggung!

Pertama, saya mulai dari kasus autoplay video. Perlu diketahui bahwa Kompasiana dan rekanan penyedia jasa iklan video tersebut sepakat bahwa iklan video akan memutar secara otomatis (autoplay) jika diakses melalui perangkat desktop dan mobile saat menggunakan jaringan wireless fidelity (WiFi) serta selalu dibekali dengan close button.

Kedua, menyangkut materi gambar yang menimbulkan rasa jijik dan ngeri-ngeri sedap—karena tetap dilihat—sudah disampaikan ke pihak penyedia jasa iklan tersebut untuk dicabut.

Ketiga, iklan yang menutupi sebagian konten sehingga membuat tidak nyaman pun sudah kami evaluasi.

Keempat, perkara load page Kompasiana yang dianggap lambat. Kuantitas banner iklan bukanlah satu-satunya penyebab. Banyakya penggunaan ikon di Kompasiana menjadi faktor yang dominan. Dan, dengan segera kami lakukan langkah user interface optimization dengan mengganti penggunaan ikon dengan teks atau simbol lain.

Meskipun sudah ada tindakan optimasi dan evaluasi terkadang masih dialami beberapa Kompasianer dan sifatnya acak. Untuk itu, jangan segan untuk membuat aduan melalui saluran yang sudah disediakan. 

Nah, yang jadi pertanyaan besar adalah kenapa sekarang Kompasiana bertabur iklan? Ada apa dengan Kompasiana?

Sebelum berpanjang kata, kita bersepakat dulu bahwa setiap entitas bisnis harus memiliki sumber pendapatan yang dapat mendukung operasional bisnis tersebut.

Begitu pula dengan Kompasiana yang diluncurkan 12 tahun silam. Di dua tahun pertama, 2008-2010 Kompasiana layaknya program corporate social responsibility (CSR) Kelompok Kompas Gramedia (KKG) kepada pembaca Kompas (cetak dan online). Tuntutan bisnis belum nyaring karena masih didukung penuh oleh induknya, KOMPAS.com.

Saat itu, Kompasiana fokus bagaimana agar produk digital ini menghimpun banyak pengguna beserta kontennya dan jumlah pembaca. Bahkan, sejak 2009 Kompasiana mulai gencar mengembangkan komunitas. Ya, memang begitu idealnya!

Berdasarkan catatan, Kompasiana mulai membukukan revenue atau pendapatan dari iklan dan activation pada tahun 2011.

Pada tahun itu, catatan keuangan Kompasiana dikelola layaknya unit bisnis yang sudah "disapih" dari induknya. Tim pengelola pun bertambah dan mulai membentuk tim kecil yang terdiri dari beberapa departemen.

Hukumnya memang seperti itu. Ketika bisnis bertumbuh, operasional pun ikut berkembang sehingga layanan kepada konsumen dapat ditingkatkan.

Tahun terus berjalan. Kebutuhan terus bertambah dan bisnis media pun berubah. Kompasiana harus bisa mandiri dari sisi pendapatan.

Sang induk KOMPAS.com tidak melulu dapat memberikan asupan, terlebih mereka juga sibuk mengembangkan bisnisnya sendiri agar terus bertahan dan tumbuh. Pengalaman tutupnya tabloid Bola menjadi pelajaran berharga buat semua.

Selama 10 tahun berdiri (2008-2018), pendapatan Kompasiana ternyata belum dapat menutupi biaya operasional. Kenyataan yang pahit tapi tidak perlu disesali berlarut-larut apalagi sampai menggerutu.

Berbagai inisiatif bisnis bermunculan hingga pada keputusan memilih model programmatic advertising sebagai salah satu sumber pendapatan baru—di samping tetap menjalankan business as usual seperti activation (event) dan mengembangkan potensi baru dari content and community marketing.

Kami sadar betul bahwa karakter produk ini berbeda dengan kebanyakan produk digital lainnya yang dimiliki KG Media (Kelompok unit bisnis media di Kompas Gramedia).

Setiap langkah bisnis harus dipertimbangkan dampaknya terhadap Kompasianer. Kompasiana harus mempertimbangkan para kreator konten yang telah berkontibusi dalam produktifitas dan intensitas interaksi yang menjadi value terbesar Kompasiana.

Butuh keputusan yang matang dan sikap kehati-hatian agar langkah yang diambil tidak menjadi boomerang. Sebagai stakeholder, Kompasianer harus mendapatkan manfaat lebih sebagai bentuk apresiasi sekaligus kompensasi dari tiap kebijakan yang diambil.

Hal ini tidak termasuk keuntungan yang intangible atau insentif non material, lho. Pasti kamu lebih paham apa yang sudah didapat dari Ngompasiana.

Tahun ini, Kompasiana mengalokasikan dana hampir satu miliar untuk program-program yang mendukung produktifitas dan intensitas interaksi pengguna tanpa mengurasi keuntungan atau manfaat yang sifatnya non material.

Misalnya, loyalty program K-Rewards yang mengalami kenaikan jumlah nominal rupiahnya. Contoh lain adalah kompetisi blog regular—tanpa pengiklan—mengalami peningkatan dari sisi jumlah dan nominal hadiah.

Komunitas juga tidak luput dari perhatian. Meski masih mendapatkan dana pengembangan yang sama dari tahun sebelumnya, pada tahun ini akan ada tambahan rewards bagi komunitas yang paling aktif di tiap kuartal.

Kegiatan-kegiatan seperti kopdar pun masuk dalam agenda rutin meski tanpa adanya dukungan dari pengiklan. Dan, ada beberapa program lain yang diperuntukkan bagi Kompasianer, salah satunya adalah forum diskusi terkait pengembangan produk dengan melibatkan langsung Kompasianer sebagai stakeholder.

Sampai di sini jelas, bahwa apa yang Kompasiana dapat dari operasional bisnis tidak semata-mata untuk dikapitalisasi.

Sebagian dikembalikan lagi kepada Kompasianer dan sebagian lainnya untuk meningkatkan mutu layanan melalui research, pengembangan produk, termasuk di dalamnya product maintenance dan biaya sewa layanan cloud computing yang membutuhkan biaya tidak sedikit.

Trus, kondisi bisnis Kompasiana sekarang bagaimana?

Dalam catatan "Tahun ke-11 dan Berkompromi dengan 'Value Proposition'" akhir tahun lalu, disampaikan bahwa Kompasiana mengalami pertumbuhan yang cukup baik dari sisi keterbacaan (pageviews), jumlah konten dan member baru. Ini adalah pencapaian tertinggi dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

Selaras dengan pertumbuhan produk, bisnis Kompasiana pada 2019 lalu juga tumbuh cukup baik. Bahkan, Kompasiana memasuki tahap break event point (BEP). Suatu pencapaian yang dinanti-nantikan dalam satu dekade terakhir.

Pencapaian di atas berkat kerja keras banyak pihak termasuk Kompasianer. Tidak bisa dikesampingkan pula peran dan usaha keras para pendahulu (baca: founders) sehingga Kompasiana memiliki pondasi yang kokoh untuk bertahan dan terus tumbuh menjadi platform blog terbesar di kawasan.

Last but not least, performa produk yang baik juga harus diimbangi dengan performa bisnis yang baik sehingga dapat memberikan manfaat dan pelayanan yang baik kepada konsumen.

Satu hal lagi yang perlu menjadi catatan bersama adalah dalam pengelolaan produk dan bisnis di era digital seperti sekarang ini sangatlah dinamis dan cepat. Jarang sekali satu model bisnis bertahan dalam kurun waktu yang lama.

Bisa jadi, salah satu sumber pendapatan yang saat ini berasal dari pemasangan iklan---direct atau programmatic---bisa berubah ke model bisnis yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun