Mohon tunggu...
Nurul Hidayati
Nurul Hidayati Mohon Tunggu... Dosen - Psychologist

Ordinary woman; mom; lecturer; psychologist; writer; story teller; long life learner :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cyberbullying: Ketika Netizen Bully Penulis F di Media Sosial

21 Februari 2017   11:24 Diperbarui: 24 Maret 2017   21:14 3133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: fanpage penerbit T

Cyberbullying: Apa Bahayanya?
Perundungan siber (cyberbullying) adalah tindak intimidasi, penganiayaan atau pelecehan disengaja yang dialami seseorang di internet. Ternyata, hal ini menjadi sebuah ancaman yang jauh lebih berbahaya daripada yang kita perkirakan selama ini.

Khususnya, apabila menyangkut anak-anak. Sebagaimana menurut penelitian bertajuk "Growing Up Online – Connected Kids", yang dilakukan oleh Kaspersky Lab dan iconKids & Youth.

Terkait cyberbullying (perundungan siber), ternyata, anak-anak berusia 8-16 tahun lebih waspada terhadap ancaman ini daripada orang tua mereka. Seperti dikutip dari keterangan pers Kapersky Lab, hasil penelitian itu menunjukkan hanya 13 persen anak-anak dan 21 persen orang tua yang menganggap hal tersebut tidak berbahaya.

Pada saat yang sama, 16 persen dari anak-anak yang disurvei lebih takut ditindas online daripada offline. Sementara setengah (50 persen) anak-anak yang disurvei merasa takut ditindas (bullying) baik itu di kehidupan nyata maupun virtual.

Orang tua pun diimbau tidak mengabaikan bahaya perundungan siber. Terlepas dari kenyataan bahwa studi ini menemukan hanya 4 persen dari anak-anak mengaku ditindas secara online (dibandingkan dengan 12 persen dalam kehidupan nyata), pada kenyataannya 7 dari 10 kasus berakibat memberikan konsekuensi yang traumatis.

Perundungan di Internet memberikan dampak yang serius terhadap kesejahteraan emosional anak-anak. Orang tua dari 37 persen korban melaporkan dampak kepercayaan diri yang sangat rendah, 30 persen melihat penurunan dalam proses belajar di sekolah, dan bahkan 28 persen mengatakan anak-anak mereka mengalami depresi.

Tidak hanya itu, 25 persen dari orang tua menyatakan bahwa cyberbullying telah mengganggu pola tidur anak-anak mereka dan bahkan menyebabkan mimpi buruk (21 persen).

Orang tua dari 26 persen korban menyadari bahwa anak-anak mereka sudah mulai menghindari kontak dengan anak-anak lainnya, dan 20 persen menemukan anak-anak mereka mengidap anoreksia.

Hal yang juga mengkhawatirkan adalah statistik menunjukkan bahwa 20 persen dari anak-anak menyaksikan anak lain ditindas secara online, dan di 7 persen kasus, mereka bahkan berpartisipasi di dalamnya.

Sumber gambar: shutterstock.com
Sumber gambar: shutterstock.com
Cyberbullying Terhadap Remaja dan Dewasa: Bolehkah?
Dalam diri setiap kita ada sosok inner child. Ada sisi yang rentan, membutuhkan kasih sayang, dan juga butuh perlindungan. Dalam beberapa kasus cyberbullying, korban berusia remaja maupun dewasa. Stres, tertekan, malu, frustasi, terintimidasi. Berbagai dampak psikologis, sosial, hingga ancaman terhadap nyawa korban merupakan sisi lain cyberbullying.

Maka, siapa bilang kita boleh melakukan bullying terhadap mereka yang sudah remaja ataupun dewasa?

Dunia Siber (Dunia Maya): Dunia Tanpa Perlu Etika?

Apakah kita benar-benar bebas menulis, berkomentar, mengekspresikan apa saja dalam dunia maya? Apakah ketika kita berlindung di balik avatar atau diselimuti tudung anonimitas artinya kita bebas berbuat apa saja?

Kalaupun kita tetap menggunakan akun sesungguhnya, apakah kita kemudian bisa berbuat apa saja? Bebas menyebarkan berita apa pun juga? Tanpa perlu mencari data dan fakta? Berbekal kepingan informasi yang entah kita peroleh dari mana, kemudian kita merasa 'harus' menyebarluaskan 'kebenaran' itu?

Seorang teman berkata, “Sesuatu yang viral itu seakan sudah pasti benar. Apalagi kalau sesuatu itu kita anggap menarik, lucu, penting, dan berbagai alasan sejenis. Sepertinya lucu dan keren saja, ya, menyebarluaskan postingan viral. Terkadang kita khawatir dianggap tidak apdet atau nggak kekinian. Apakah juga tetap lucu, tetap keren, dan tetap menarik: kalau Kamu yang menjadi postingan yang diviralkan?”

Hmm, mak jleb, ya? Kita jadi mikir, dong?

Benar nggak, hal yang kita share secara membabi buta tersebut? Sudah sempat mencari tahu (sedikit) lebih jauh belum? Sudah memeroleh gambaran utuh tentang postingan tersebut kah?

Sumber gambar: hercampus.com
Sumber gambar: hercampus.com
Masih ingat dengan “Kasus Seorang Anak Penyandang Disleksia (Kesulitan Belajar Membaca) yang Keliru Melafalkan Ikan Tongkol dengan Kongtol Itu? Yang kebetulan ia ucapkan di depan Bapak Presiden?” Banyak orang merasa geli, menganggap itu hal yang lucu dan 'harus' di-share ke semua orang. Mengapa kita tak ingin meluangkan sedikit waktu untuk mencari tahu?

Bagaimana kalau kita termasuk salah satu dari mereka yang menertawakan Si Anak? Anak yang seharusnya perlug mendapatkan empati dari kita semua? Bagaimana kalau kita justru yang tanpa pikir panjang memviralkannya? Bagaimana kira-kira perasaan Si Anak? Bagaimana kalau cyberbullying yang kita lakukan terhadap Si Anak tersebut kemudian memicu hal-hal negatif di luar jangkauan tangan kita?

Hal ini mengingatkan saya pada sebuah kisah penuh hikmah. Ketika seorang guru (ulama) bijak memberikan sebuah metafora akan bahaya fitnah terhadap santrinya menggunakan bulu-bulu ayam. Sang Santri yang merasa telah khilaf menyebar fitnah bertanya pada sang ulama apa yang bisa ia lakukan. Sang Guru membekali santri tersebut sebuah kemoceng, yang kemudian diminta olehnya mencabuti helai demi helai bulu kemoceng tersebut. Fitnah/kabar tidak benar yang beredar ibarat bulu-bulu kemoceng yang kita cabut tadi. Ketika pada akhirnya kita menyesal, dan ingin mengumpulkan setiap helai bulu-bulu tersebut, ternyata menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Bahkan kita sulit untuk melacak ke mana terbangnya bulu-bulu tersebut. Kalaupun orang yang pernah kita sebarkan kabar tak benar tentangnya itu telah sanggup memaafkan kita, hal itu tidak serta merta menghentikan laju keburukan yang telah ditimbulkan berita fitnah tersebut. Maka, benar adanya bahwa fitnah lebih kejam dari pembunuhan terhadap seseorang. Orang tersebut boleh jadi masih hidup, namun kita membunuhnya dari berbagai sisi. Naudzubillah min dzalliik.

Bagaimana dengan Bullying terhadap Seseorang (Atas Karyanya)?
Baru-baru ini santer beredar sebuah postingan tentang sebuah karya (buku) dari seorang penulis (F). Sebagai pengguna media sosial, saya pun sempat melihat beberapa postingan terkait hal tersebut. Reaksi spontan saya melihat sesuatu postingan viral (sebagaimana kebanyakan orang) adalah ingin tahu.

Pertama, karena penulis F (bagi mereka yang concern dengan dunia bacaan anak) cukup punya nama, maka tinggal search di search engine, maka dalam hitungan detik kita dengan mudah memperoleh beberapa informasi awal mengenai diri dan karyanya. Bahkan, penulis F memiliki situs pribadi yang menampilkan berbagai karyanya.

Kedua, saya mencari tahu lebih jauh tentang buku dan penerbitnya. Melacak penerbit yang menerbitkan buku karya penulis F tersebut pun tak sulit. Penerbit T merupakan penerbit berskala nasional. Situs resmi penerbit tersebut dengan mudah bisa kita akses. Demikian pula dengan berbagai akun media sosial penerbit tersebut.

Ketiga, terkait isi buku. Ternyata, dengan mudah kita juga bisa lacak. Dari sekian akun media sosial yang sedang membicarakan fenomena penulis F dan karyanya, hemat saya pasti ada yang memuat lebih detail mengenai buku tersebut. Benar saja, tak perlu waktu sehari, saya sudah memperoleh lengkap isi buku yang menghebohkan tersebut.

Nah, saya tak ingin terlampau larut dalam pro kontra mengenai buku karya penulis F, kontennya, atau menyajikan berbagai pendapat saya tentang buku tersebut.

Satu hal yang ingin saya sampaikan, betapa dahsyatnya media sosial mengubah cara kita berperilaku dan berkata-kata. Saya sempatkan untuk menyimak beberapa ratus dari ribuan komentar yang diposting di akun media sosial yang sangat sering dijadikan acuan dunia pergosipan tanah air. Terlepas dari apakah Anda termasuk yang pro ataukah kontra, betapa mirisnya menyaksikan berbagai komentar bernada perundungan (bullying) bertebaran secara massif di sana. 

Masihkah kita bisa bisa berbangga bahwa bangsa kita memiliki budaya yang luhur? Yang menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan? Tentu berbeda pendapat itu sangat boleh, namun bagaimana cara kita mengungkapkannya lah yang menjadi persoalan. Bolehkah kita menghujat, mencaci, mengatakan seseorang bej*t/cab*l/ gobl*k dengan didasari sebuah postingan? Yang bahkan kita tak mau bersusah payah meluangkan sedikit waktu untuk menggali data lebih jauh? Bahkan, kita seringkali marah dan menegur putra-putri kita apabila mereka berkata kasar. Lalu mengapa kita menebar bullying dan kata-kata kasar dalam komentar maupun postingan kita di media sosial?

It’s really shame on us…”

Like And Share! Viralkan!
Mungkin kita berkilah… Tapi ini 'wow banget'! Semua 'harus' tahu nih! Ini penting banget! Ini bahaya banget! Ini menjijikkkan banget! Cepat, cepat, langsung: klik! Like! Share!

Ffuhh… di dunia yang serba cepat ini… Kita, para penghuni era digital, seakan tak mampu menarik napas… Di dunia yang selebar genggaman tangan ini, di mana untuk mencaci, menghujat, bahkan membunuh karakter seseorang, kita hanya perlu melakukan: like, click, share… dan wush… berita buruk tentang seseorang.. tentang sesuatu pun melesat melampaui kecepatan kita untuk berpikir, dan menjaga hati.

Wallahu ‘alam bishawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun