Bujang tanggung tersebut bergeming. Malah semakin bangga, setiap mampir di warung, pengemis tersebut dapat jatah aneka makanan. Subur tinggal memilih dan melahap kue kesukaannya.
Cara berpikir kakek tuna netra tersebut amat cerdas. Apabila bawaannya sudah banyak dan berat, dia menjual beras hasil mengemisnya di mana dan siapa saja yang mau membeli.
"Mampir di sini dulu, Gaek!" ajak Subur sambil menikung ke pekarangan sebuah rumah.
"Tidak usah!"
"Kenapa? Ayolah, Gaek! Tidak jauh dari pinggir jalan. Rumahnya bagus. Pasti ini orang kaya." Subur menahan langkah. "Pemiliknya sedang berada di luar. Tidak perlu susah-susah menunggu. Setelah memberi salam, membaca doa, dan dikasih sesuatu, kita langsung pergi."
"Tak usah, ah. Kaya, memang iya. Pelitnya selangit."
"Tau dari mana Gaek?"
"Iyo taulah."
"Yo dak apo-apolah." Subur melururuskan haluan mengikuti jalur yang hendak mereka tuju. Dia berbincang dengan dirinya sendiri, "Heran juga ini kakek. Dia mengetahui, pelit tidaknya seseorang. Padahal matanya seperti tak dapat melihat sama sekali."
***
Matahari beringsut ke barat. Setelah menempuh jalan delapan kilometer, Subur dan sahabat pengemisnya sampai di ujung jalan raya. Kini di hadapannya terhampar tenang pelabuhan sungai Muara Sakai.