Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen ǀ Subur dan Pengemis

11 Juli 2018   22:06 Diperbarui: 13 Juli 2018   00:12 2779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: The Indian Express

Tubuhnya ringkih matanya bertaut. Garis celah antara pelupuk atas dan bawah netranya masih mampu mengerdip. Ketika berjalan, kepalanya agak menengadah. Apakah dia pura-pura buta atau  buta benaran, wallahu alam bish shawab

Yang pasti, profesinya sebagai pengemis. Dua kali seminggu jadwal kerjanya menyinggahi rumah-rumah di kampung Subur. Yang menarik, dengan kantong berisi beras tersampir di bahunya, dia mampu menempuh jalan belasan kilometer tanpa dituntun.

"Gaek (1)! boleh saya bantu?" Subur menawarkan diri.

"Jangan. Nanti Emak-mu marah. Perjalanan saya jauh. Sampai ke pelabuhan Muara Sakai."

Subur semakin tertarik. "Ini kesempatan bagi saya untuk melihat kapal," gumamnya.

"Tidak apa-apa."

"Kau tidak sekolah?"

"Ai ..., Gaek. Sekarang kan hari Minggu."

Pengemis enam puluhan tahun  itu berpikir sejenak. "Oh, iyo?"

Subur mengambil alih kendali tongkatnya, terus menuntun pengemis itu berjalan. Anak laki-laki kelas dua Sekolah Rakyat itu bangga melakukannya. Meskipun selama menapaki jalan kampungnya, banyak teman sekolahnya menegur dan mencemooh. Begitu juga orang dewasa.

"Eh ..., Anak saudagar cengkeh minta sedekah. He he he," ejek salah seorang teman ayahandanya Subur.

Bujang tanggung tersebut bergeming. Malah semakin bangga, setiap mampir di warung, pengemis tersebut dapat jatah aneka makanan. Subur tinggal memilih dan melahap kue kesukaannya.

Cara berpikir kakek tuna netra tersebut amat cerdas. Apabila bawaannya sudah banyak dan berat, dia menjual beras hasil mengemisnya di mana dan siapa saja yang mau membeli.

"Mampir di sini dulu, Gaek!" ajak Subur sambil menikung ke pekarangan sebuah rumah.

"Tidak usah!"

"Kenapa? Ayolah, Gaek! Tidak jauh dari pinggir jalan. Rumahnya bagus. Pasti ini orang kaya." Subur menahan langkah. "Pemiliknya sedang berada di luar. Tidak perlu susah-susah menunggu. Setelah memberi salam, membaca doa, dan dikasih sesuatu,  kita langsung pergi."

"Tak usah, ah. Kaya, memang iya. Pelitnya selangit."

"Tau dari mana Gaek?"

"Iyo taulah."

"Yo dak apo-apolah." Subur melururuskan haluan mengikuti jalur yang hendak mereka tuju. Dia berbincang dengan dirinya sendiri, "Heran juga ini kakek. Dia mengetahui, pelit tidaknya seseorang. Padahal matanya seperti tak dapat melihat sama sekali."

***

Matahari beringsut ke barat. Setelah menempuh jalan delapan kilometer, Subur dan sahabat pengemisnya sampai di ujung jalan raya. Kini di hadapannya terhampar tenang pelabuhan sungai Muara Sakai. 

Di sana bersandar beberapa kapal yang menurutnya Subur lumayan besar. Ada KM Sarinah, KM Singgalang, KM Teratai  dan beberapa KM Lainnya. Hampir tak berkedip mata Subur memandangnya. Dia bangga dan puas. Animonya untuk melihat kapal telah terlampiaskan.

Sekira setengah jam kemudian, hujan turun tidak terlalu lebat. Subur dan kakek beruban tersebut numpang berteduh di sebuah warung makanan sekalian minum kopi. Lagi-lagi Subur disuguhi kue gratis. Ada kue bika, kue talam dan kalpon. Semuanya pemberian pemilik warung untuk sang peminta.

"Biasanya, hujan tipis-tipis begini teduhnya lama. Kecuali benar-benar lebat," ujar si kakek.

Subur tidak menanggapi ramalan rekan tuanya itu. Mata dan perhatiannya focus pada benda terapung yang ada di hadapannya saat itu. Dalam hati dia mengharap agar hujan turun lebih lama. Supaya kesempatannya melihat kapal dapat diperpajang.

Hari semakin sore. Tanpa terasa Ashar berlalu Maghrib pun menunggu. Hujan tak kunjung reda. Berhenti sejenak, kemudian turun lagi dengan tetesan yang lebih menggila, diselingi pula halilintar yang berkinyau-kinyau.

"Kita nginap di sini saja,"usul sang kakek. "Numpang tidur di pojok sana pun tidak apa-apa," tambahnya sembari menunjuk emperan gudang garam.

"Saya juga tak mau pulang. Belum puas," timpal Subur. "Mana tahu, orang kapal itu tergerak hatinya ngajak kita nginap bersama mereka. Saya ingin mencicipi bagaimana rasanya naik kapal."

Si kakek tertawa. "Nanti kau dibawanya ke Padang."

"Saya mau. Ayolah, Gaek. Bilang sama mereka."

Si pengemis berpikir sejenak. "Coba kau bikin ulah."

"Caranya?"

Menangis sekuat-kuatnya,  bergulingan di tengah hujan, sampai menarik perhatian anak kapal itu."

Subur merenung, usulan kakek ini patut dipertimbangkan. Namun logikanya membantah, bajuku hanya selembar yang melekat di tubuh saja.

"Saya tak bisa menangis, Gaek. Kecuali kalau dipukul."

"Sini saya pukul. Ha ha ...!"

"Tidak, ah."

Mereka berdua tertawa lagi.

Setelah Maghrib, hujan turun semakin lebat.

"Permisi Pak, ya. Saya mau menutup pintu," kata pemilik warung.

Di tengah rintik-rintik hujan, dua sahabat itu keluar dari kedai, menuju tempat yang mereka rencanakan sebelumnya.

Selama berteduh di emperan gudang garam, cuaca mulai bersahabat. Hujan berangsur meninggalkan bumi. Tak jauh dari posisi mereka saat itu, lampu kapal berkelap-kelip bagaikan bintang dilangit, diiringi musik dan lagu-lagu Minang klasik.

"Nyanyi radionya bagus," kata si kakek di sela gigil menggemertak giginya.

Subur kurang responsif. Baginya, apa pun jenis musiknya, tiada yang menarik. Kecuali merakit kerinduannya pada suasana di dalam kapal. Pada malam hari pula.

Menjelang Isya, hujan bertambah deras. Disertai angin dan petir. Walaupun kira-kira kurang dari setengah jam, cukup merepotkan. Tempat mereka basah kuyup. Apa hendak dikata, tiada pilihan lain kecuali pasrah pada kondisi yang ada.

Di malam yang dingin bersungkup gelap itu, tubuh Subur hanya berbalut selembar kemeja kotak-kotak lusuh dan celana setengah paha. Nyamuk mengeroyok tak kenal ampun. 

Tak salah, beberapa meter dari tempat mereka berteduh, serombongan kambing ikut nebeng. Ini sudah pasti, kawanan nyamuk sebagai jamaahnya. Belum lagi  cacing di perut terus menuntut. Untung ada kue sagun sisa tadi siang, sekadar penghilang lapar beberapa saat. Kompas hasrat Subur tak mau berubah arah, selain nasi, nasi, dan nasi. Malam terasa amat panjang. Sehela napas pun mereka tak bisa tidur.

"Gaek ...! Saya kebelet berak," rengek Subur.

"Waduh! Tahan dulu. Malam-malam begini buang air di sungai. Nanti kau terkam buaya." Jawab kakek di samping Subur itu. "Kau dengar tuh? Ayam sudah berkokok. Tandanya hari hampir terang."

"Tak kuat nahan, Gaek. Mules." Subur meremas-remas perutnya.

Sedetik kemudian, pisak celananya berkeok. Pertahanannya jebol.

"Laa khawlawwala," timpal si kakek. "Oeeek ...."

"Serasa membuang kentut. Tahunya yang menyembur tai bocor," aku Subur. Aromanya memabukkan ayam sekandang. Tiada pilihan, menjelang pagi Subur dan pengemis itu bergumul dengan bau busuk

Subuh yang masih temaram, dengan celana yang melekat di tubuhnya, Subur berendam di dalam sungai. Kemudian dia pulang mengenakan celana basah.

***

Kurang lebih dua jam berjalan  kaki, Subur sampai di kampung halamannya, tanpa didampingi. Si kakek meneruskan petualanganya ke kampung lain.

Dari jalan raya, Subur melihat di rumahnya rame sekali. Rupanya di sana telah berkumpul kerabat dan  sanak familinya.  Dengan wajah ketakutan, Subur melapor kepada ibunya, "Mak ...! tadi malam saya tidur di rumah nenek."

"Ya Allah, Nak ...! Kemana kau tak pulang-pulang?" Ibunda Subur menggigil menahan marah. "Enaknya kau berbohong. Semalaman masyarakat satu kampung ini sibuk mencarimu ke mana-mana. Orang bilang kau ikut pengemis. Sudah dirunut oleh paman-pamanmu. Namun tiada yang tahu peminta itu bermalam dimana."

Subur bertafakur malu-malu.

Seisi rumah diam. Ada yang menunjukkan wajah kesedihan, ada pula yang senyum-senyum sengeng.

Tiba-tiba nenek Subur nongol dari belakang. Perlahan dia menghampiri cucu tersayangnya tersebut dan berkata, "Jangan dimarahi. Yang penting dia sudah pulang." Nenek pemakan sirih itu mengelus kepala Subur dengan lembut. Bertubi-tubi ciuman mendarat di kening dan lehernya. "Kau bau taik, Cung?" Si nenek menggerak-gerakkan lubang hidungnya, memantau di mana sumber wewangian itu.

"Sudah, mandi sana. Ganti bajumu! Tidak apa-apa. Anak laki-laki, harus jantan. Dia mau tahu bagaimana rasanya menjadi pengemis," timpal ayahanda Subur.

Lunglai kaki Subur melangkah, menuju sumur tempat mandi.

***

* Kata sapaan untuk kakek (Bahasa Minang)

Jambi, 11072018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun