Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Segenggam Duka

19 Agustus 2023   07:34 Diperbarui: 19 Agustus 2023   07:51 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Anemone123 by Pixabay

Selama ini, bukan ucapan kasar yang Mahi takutkan. Justru, orang semacam itu yang ia khawatirkan. Di depan berpura-pura manis, di belakang berucap sadis. Sungguh miris. Mahi kira, insan seperti itu sudah mulai langka. Ternyata, masih ada. Wujudnya masih nyata. Bahkan, ia tinggal di bumi yang sama.

Bulir bening dari kedua matanya seketika luruh. Mahi tak kuasa menahan sesak yang secara tak sengaja meremas dadanya. Tak ada tempat lain, kamar adalah tempat yang tepat untuk meluapkan segala resah. Ia segera menuju ke sana untuk menenangkan diri. Ia tak ingin ada prasangka buruk ketika penghuni rumah ini menyadari bahwa raut mukanya tersirat duka. 

Mahi masih tidak menyangka bahwa efek isakan yang membabi buta ternyata sungguh luar biasa. Ia terlelap di sela tangisnya, hingga hampir 2 jam lamanya. Ia pun melupakan tanggung jawabnya, yaitu menyiapkan bekal untuk suaminya. Perlahan Mahi mengerjapkan matanya. Ia mengumpulkan segenap kesadarannya. Lalu, ia mengambil ponselnya untuk meminta maaf pada suaminya melalui pesan singkat. Ia mengatakan bahwa ia tidak bisa memenuhi janjinya.

Di tempat yang jauh dari pandang mata, seorang lelaki tampak gelisah. Ia memikirkan segala kemungkinan yang ada. "Apakah ia baik-baik saja?" gumamnya. Lelaki itu adalah Alfian. Ia begitu mengkhawatirkan belahan hatinya di rumah. Tidak seperti biasanya, istrinya itu tidak pernah melupakan janjinya sebelumnya. "Ah, sudahlah. Nanti bisa dipastikan di rumah. Tidak lebih dari 3 jam jam kantor usai. Jadi, aku harus sabar," pikirnya.

Jam kantor pun telah usai. Alfian lantas melajukan mobilnya. Tujuan utamanya adalah untuk segera sampai di rumah. Memastikan bahwa spekulasinya tidak benar. Sesampainya di kediamannya, ia langsung menuju kamar untuk menemui istrinya. Saat itu, ia melihat seseorang yang ingin ia temui meringkuk di tempat tidur. Ia duduk di samping wanita pujaannya itu, menatap setiap inci wajah yang terlihat gurat kesedihan di sana.

"Kak Al udah pulang? Kenapa Mahi nggak dibangunkan?" ucap wanita itu penuh sesal karena ia tidak menyambut suaminya dengan baik.

"Apa kamu baik-baik saja? tanya Alfian penuh selidik.

"Mahi baik-baik saja, Kak. Tadi siang, kepala Mahi mendadak pusing. Jadi, tertidur, deh. Mungkin ini efek kelamaan tidur, sehingga wajahku berantakan begini," jawab Mahi dengan senyuman yang sedikit ia paksa. Alfian pun percaya. 

Rasanya tidak mungkin kalau Mahi harus menceritakan kejadian sesungguhnya. Ia ingin menghindari suasana panas di rumah ini. Ia tidak ingin label 'pengadu domba' tersemat dalam dirinya. Cukup dirinya saja yang terluka. Ia yakin hal semacam ini adalah cara Tuhan untuk menempa dirinya. Untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Untuk menjadi diri yang lebih hebat.

Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasanya. Mahi tidak ingin mengambil pusing mengenai masalah yang membuatnya berduka. Rasa yang mengganjal di hati tentu masih ada. Namun, ia akan berusaha untuk selalu mengabaikannya. Biar bagaimana pun, perempuan itu adalah surga bagi lelakinya. Maka dari itu, ia harus tetap menghormatinya. Ia percaya bahwa rencana Tuhan sungguh istimewa. Ia akan menanti keindahan seperti apa yang akan menyambutnya di ujung jalan sana.

Kali ini, Mahi bertekad ingin menuntaskan janji yang belum usai. Yakni, membawakan bekal makan siang untuk suami. Ketika panggilan Mamang Sayur sudah terdengar. Ia segera meluncur ke depan. Ia melihat beberapa pelanggan sudah mengerumuni tukang sayur tersebut. Kecuali ibu mertua. Kali ini, ia absen. Jadi, Mahi bebas melenggang tanpa takut dinding telingaku koyak karena ucapan pedasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun