Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Segenggam Duka

19 Agustus 2023   07:34 Diperbarui: 19 Agustus 2023   07:51 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Anemone123 by Pixabay

Sejurus kemudian, Mahi membuat menu sarapan sesuai dengan yang ibu mertuanya perintahkan. Tak butuh lama ia mengerjakan. Ia tampak sudah terbiasa melakukan hal semacam ini, karena memang meramu makanan adalah salah satu hobinya. Maka dari itu, ia tidak keberatan jika harus berkutat dengan bahan-bahan makanan setiap harinya.

Setelah selesai, Mahi pun menyajikan hidangan di meja makan. Lalu, ia memanggil seluruh keluarganya untuk sarapan bersama seperti biasanya, sebelum para penghuni rumah memulai aktivitas di luar. Mahi merasa bahagia ketika tidak ada yang protes rasa makanan yang ia masak sebelumnya. Ia menganggap bahwa mereka menyukainya.

"Terima kasih, Sayang. Masakanmu selalu enak," ucap Alfian seusai sarapan. Mahi pun tersenyum simpul. Ia bahagia. Ini pertama kalinya lelaki yang telah resmi menjadi suaminya itu memuji masakannya.

Sebentar lagi, Alfian akan pergi ke kantor. Mahi sibuk menyiapkan segala keperluan yang akan  dibawa oleh suaminya. Lalu, Alfian berpamitan pada istrinya. Tak lupa ia kecup dengan lembut kening wanita yang sudah menjadi kekasih halalnya tersebut. Sentuhan lembut di dahi selama 20 detik ketika hendak bekerja adalah rumus romantis ala lelaki menawan itu. Sebentar, tetapi maknanya begitu dalam. Dengan maksud, ia titipkan sebongkah rindu pada pujaan hatinya itu.

Sebelum meninggalkan rumah, Alfian menoleh. "Mahi, boleh minta tolong? Nanti bawain bekal untuk makan siang ke kantor, ya! Ayam Semur kayak biasanya," pintanya. Mahi pun mengangguk.  

Sepeninggalnya Alfian, Mahi segera menuju ke belakang. Ia melanjutkan aktivitas beres-beres rumah yang sempat tertunda. Setelah dirasa selesai, ia meluncur ke kamarnya untuk membersihkan diri. Kemudian, ia bisa istirahat sejenak sebelum nanti menyiapkan bekal untuk suami tercinta.

Sebelum puas meregangkan otot-ototnya, Mahi mendengar suara nyaring dari depan rumah. Tak salah lagi, itu adalah suara tukang sayur langganan keluarganya. Ia pun segera beranjak. Berniat untuk membeli beberapa kebutuhan dapur yang habis. Sebelum itu, Mahi menengok ke segala penjuru. Kosong. Ia tak mendapati keberadaan ibu mertuanya. Padahal, ia ingin memastikan kalau saja ada yang ingin dibeli atau tidak.

Tak menunggu lama, Mahi langsung menuju ke arah depan. Menghampiri sang tukang sayur yang kocaknya kelewatan. Namun, langkahnya terhenti seketika. Ada suara-suara tak biasa yang membunuh rasa. Singkat. Namun, efeknya membuat hati robek seketika.

"Itu Si menantu tak tahu diri, kelihatannya saja kalem. Padahal kalau diingatkan sukanya membentak. Gak sopan banget, kan?"

"Aku heran, deh. Kenapa Alfian memilih wanita seperti itu untuk dijadikan istrinya. Gak mau kerja. Bisanya cuma numpang hidup saja."

Kurang lebih seperti itu kata-katanya. Suara-suara dengan bahasa asing yang jelas Mahi mengerti artinya, menggema menembus gendang telinga. Sekujur tubuh perempuan malang itu membeku. Ia masih sulit mencerna. Bagaimana tidak? Penutur rentetan aksara yang begitu mulia itu adalah ibu mertuanya. Seseorang yang begitu ia hormati melebihi ibu kandungnya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun