“Breakfast is the most important meal of the day.” Kalimat itu sudah puluhan tahun tertanam dalam benak masyarakat dunia.
Anak-anak di sekolah selalu diingatkan guru untuk sarapan sebelum berangkat. Iklan-iklan sereal, susu, dan minuman energi di televisi menegaskan bahwa sarapan adalah kunci agar otak cerdas dan tubuh bertenaga.
Namun, benarkah sarapan selalu penting? Sebuah penelitian terbaru justru mengguncang kepercayaan lama ini. Meta-analisis uji klinis terkontrol (Randomized Controlled Trial/RCT) yang dipublikasikan di PubMed tahun 2020 menunjukkan bahwa melewatkan sarapan dapat menurunkan berat badan rata-rata 0,54 kilogram dan memangkas asupan kalori harian hingga 400 kalori.
Temuan ini membuat dunia kesehatan dan gizi harus meninjau ulang “dogma” sarapan yang sudah lama dipercaya.
Fakta ilmiah di balik riset
Riset yang melibatkan 13 studi dengan 1.413 peserta tersebut menemukan pola yang konsisten: orang yang tidak sarapan cenderung mengonsumsi lebih sedikit kalori sepanjang hari.
Menariknya, anggapan bahwa “kalau tidak sarapan maka makan siang akan lebih banyak” tidak terbukti. Sebaliknya, mereka yang melewatkan sarapan tetap tidak makan berlebihan di siang hari.
Selain itu, penelitian ini juga mengungkap bahwa efek tidak sarapan cukup signifikan terhadap metabolisme. Dengan mengurangi asupan harian sekitar 400 kalori, tubuh terdorong untuk menggunakan cadangan energi yang tersimpan. Efeknya, badan lebih sehat dan berat badan berangsur menurun.
Namun, bukan tanpa catatan. Riset ini juga mendapati adanya kenaikan kadar LDL (low density lipoprotein) alias kolesterol jahat sekitar 9,24 mg/dL pada mereka yang rutin melewatkan sarapan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah penurunan berat badan sepadan dengan risiko peningkatan kolesterol?