Suara para ahli
Sejumlah pakar gizi memberikan pandangan berbeda. Dr. James Betts, peneliti dari University of Bath, Inggris, menyatakan bahwa klaim sarapan mempercepat metabolisme tidak sepenuhnya benar.
“Metabolisme tubuh berjalan sepanjang hari. Apa yang Anda makan saat pagi atau sore, efek termisnya relatif sama,” ungkapnya dalam wawancara dengan BBC.
Sementara itu, Prof. Satchin Panda dari Salk Institute, Amerika Serikat, yang dikenal lewat riset time-restricted eating (makan dalam jendela waktu tertentu), menekankan bahwa tidak sarapan bisa menjadi strategi sehat bila dijalankan secara konsisten.
“Melewatkan sarapan dapat memperpanjang periode puasa alami tubuh. Hal ini mendukung perbaikan metabolik, menurunkan kadar gula darah, serta meningkatkan sensitivitas insulin,” jelasnya.
Di Indonesia, dr. Tan Shot Yen, seorang dokter sekaligus pakar gizi komunitas, menegaskan bahwa kunci kesehatan bukan sekadar sarapan atau tidak sarapan.
“Pertanyaan utamanya adalah: apa yang kita makan? Jika sarapan hanya berisi gula tinggi dan makanan olahan, tentu melewatkannya bisa lebih baik. Tetapi, jika sarapan berisi protein berkualitas, serat, dan vitamin, itu akan membantu tubuh tetap bertenaga,” katanya dalam sebuah diskusi kesehatan.
Pengalaman tokoh penting dan tren global
Fenomena tidak sarapan bukan hanya wacana akademik, tetapi sudah menjadi gaya hidup yang diikuti banyak tokoh dunia. Salah satunya adalah Jack Dorsey, mantan CEO Twitter.
Ia pernah mengungkapkan bahwa dirinya hanya makan sekali sehari, melewatkan sarapan dan makan siang sebagai bagian dari pola hidup intermittent fasting.
“Saya merasa lebih fokus, lebih jernih berpikir, dan lebih tenang sepanjang hari,” ucap Dorsey dalam sebuah podcast.