Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengenal Somatoform dan Factitious Disorders

8 Agustus 2025   22:26 Diperbarui: 10 Agustus 2025   18:06 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemeriksaan dokter

Bayangkan seseorang mengeluh nyeri hebat di dada, pusing berkelanjutan, atau lumpuh mendadak, tetapi semua hasil pemeriksaan medis menunjukkan kondisi normal. 

Di sisi lain, ada pasien yang dengan sengaja memalsukan gejalanya demi mendapatkan perhatian. Dua fenomena ini; somatoform disorders dan factitious disorders, sama-sama membuat dunia medis bekerja ekstra keras, memisahkan antara keluhan yang lahir dari pikiran dan keluhan yang diciptakan secara sadar.

Gejala Nyata Tanpa Penyakit: Somatoform Disorders

Somatoform disorders adalah gangguan kesehatan mental di mana pasien mengalami gejala fisik yang nyata bagi dirinya, namun tidak ditemukan penyebab medis yang jelas. 

Nyeri, pusing, kelelahan, atau gangguan fungsi tubuh benar-benar dirasakan, tetapi pemicunya sering kali adalah faktor psikologis seperti stres, kecemasan, atau trauma.

Jenis-jenis somatoform disorders antara lain somatization disorder (keluhan fisik berulang di berbagai organ), hypochondriasis (keyakinan berlebihan menderita penyakit serius), conversion disorder (gejala menyerupai penyakit saraf seperti lumpuh atau hilang penglihatan), dan pain disorder (nyeri kronis tanpa penyebab medis yang sebanding).

Ciri khasnya: pasien tidak berpura-pura. Gejala tersebut nyata bagi mereka, meskipun sulit dijelaskan secara medis.

Gejala yang Direkayasa: Factitious Disorders

Berbeda dari somatoform, factitious disorders terjadi ketika seseorang secara sadar menciptakan atau memalsukan gejala penyakit. 

Tujuannya bukan untuk mendapatkan uang atau menghindari tanggung jawab, melainkan untuk mendapatkan perhatian, simpati, atau pengakuan sebagai “orang sakit.”

Kasus ekstremnya dikenal sebagai Munchausen by proxy, di mana pelaku membuat orang lain; biasanya anak atau kerabat, terlihat sakit demi mendapatkan perhatian medis dan dukungan sosial. 

Dalam beberapa kasus, pasien bisa memalsukan hasil tes, melukai diri sendiri, atau mengonsumsi obat tertentu agar timbul gejala.

Jangan Tertukar dengan Malingering

Meski sama-sama melibatkan gejala yang tidak sesuai kenyataan, malingering berbeda karena dilakukan untuk keuntungan eksternal. 

Contohnya, memalsukan sakit agar mendapat kompensasi finansial, menghindari pekerjaan, atau lolos dari hukuman hukum. Sementara itu, pada factitious disorders, motivasinya bersifat psikologis, bukan materi.

Membedakan somatoform dari factitious disorders bukan perkara mudah. Salah diagnosis bisa berakibat fatal—baik bagi kesehatan pasien maupun hubungan kepercayaan antara pasien dan tenaga medis. 

Selain itu, salah penanganan dapat memicu pemborosan biaya perawatan, penggunaan fasilitas kesehatan secara berlebihan, hingga beban psikologis bagi keluarga.

Solusi dan Edukasi

Penanganan kasus seperti ini memerlukan pendekatan multidisiplin yang melibatkan dokter, psikolog, dan dukungan keluarga. Edukasi publik juga sangat penting agar masyarakat memahami bahwa pikiran dan tubuh memiliki hubungan yang erat.

Dukungan emosional dan empati dapat membantu pasien somatoform disorders menemukan akar masalah psikologis yang memicu gejala. Sementara pada factitious disorders, pendekatan psikoterapi dan pemantauan ketat diperlukan untuk mencegah perilaku berulang.

Memahami perbedaan somatoform dan factitious disorders membantu kita bersikap lebih bijak terhadap keluhan kesehatan orang lain. 

Tidak semua rasa sakit berasal dari penyakit fisik, dan tidak semua gejala adalah kebohongan. Di balik setiap keluhan, ada kisah dan kondisi yang perlu diungkap dengan empati dan ketelitian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun