Moms, pernah nggak sih, lagi asyik belanja di pusat perbelanjaan atau duduk santai di rumah, tiba-tiba si kecil menangis kencang, berteriak, bahkan berguling di lantai?
Tatapan orang sekitar mulai terasa menusuk, dada terasa sesak, dan pikiran langsung penuh pertanyaan: “Kenapa lagi sih?”
Bagi sebagian orang, tantrum dianggap sebagai tanda anak nakal atau manja. Padahal, bagi anak dengan spektrum autisme, tantrum sering kali adalah bahasa rahasia yang muncul ketika kata-kata belum bisa tersusun rapi.
Itu bukan “ulah” yang harus dimarahi, melainkan sinyal darurat yang sedang mereka kirimkan. Pertanyaannya, siapkah kita membacanya?
1. Memahami Dunia Anak dengan Spektrum Autisme
Bagi anak autisme, dunia bisa terasa seperti konser musik rock yang tidak pernah berhenti; terlalu terang, terlalu bising, terlalu banyak kejutan yang sulit diprediksi. Hal-hal kecil bagi kita, bisa jadi “terlalu besar” bagi mereka.
Bayangkan:
- Lampu di kelas terlalu terang sampai menyilaukan
- Suara blender di dapur terdengar seperti ledakan meriam
- Jadwal bermain yang tiba-tiba dibatalkan
Semua itu dapat memicu reaksi emosional besar. Dan ketika mereka tidak punya cara untuk menjelaskan perasaan itu dengan kata-kata, tantrum menjadi pilihan komunikasi terakhir.
2. Intervensi Dini: Membuka Jendela Komunikasi
Riset dalam Journal of Autism and Developmental Disorders menunjukkan bahwa intervensi dini mampu mengurangi frekuensi dan intensitas tantrum hingga 60%.
Metode seperti Applied Behavior Analysis (ABA), terapi okupasi, terapi wicara, hingga integrasi sensorik membantu anak:
- Mengenal emosi dan mengaturnya
- Menemukan cara alternatif untuk menyampaikan kebutuhan
- Beradaptasi dengan perubahan lingkungan
Intervensi dini ibarat membuka jendela yang selama ini tertutup rapat. Semakin cepat dibuka, semakin banyak cahaya komunikasi yang masuk, membuat anak lebih mudah “bicara” tanpa perlu meledak.
3. Belajar Bahasa Anak: Dari Gerakan Kecil hingga Tatapan Mata