Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Lebih Takut Baterai 1%, daripada Akhlak 0%?

27 Juli 2025   13:00 Diperbarui: 27 Juli 2025   09:52 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Low battery (Sumber: freepik/rawpixel.com)

Ketika baterai ponsel tinggal 1%, banyak orang langsung gelisah. Tangan refleks mencari colokan, powerbank dicari-cari, atau buru-buru aktifkan mode hemat daya. Padahal, mereka masih berada di ruang publik, di hadapan keluarga, bahkan dalam rapat penting. 

Namun saat akhlak kita yang tinggal 1%; seperti mudah marah, menyebar hoaks, mengomentari orang seenaknya, kenapa tidak ada kepanikan yang sama?

Di era digital ini, kita hidup dengan baterai ponsel yang harus selalu terisi, tetapi sering lupa bahwa akhlak dan nurani juga butuh "di-charge". 

Di tengah maraknya drama virtual, viral-viral receh, hingga perang komentar, muncul pertanyaan reflektif: Apakah kita lebih takut kehabisan baterai daripada kehilangan empati dan etika?

Era Gawai, Era Krisis Nurani?

Data dari We Are Social dan Hootsuite (2024) menunjukkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan lebih dari 8 jam per hari menatap layar; baik ponsel, tablet, atau laptop. 

Tak sedikit yang merasa lebih resah kehilangan sinyal daripada kehilangan kontrol diri.

Kehidupan digital telah menciptakan ilusi kedekatan, namun memperlebar jurang kepekaan. Ironisnya, makin banyak yang rela marah-marah di kolom komentar, namun tak mampu menyapa tetangga atau menengok teman yang sedang kesusahan.

Fenomena ini juga diamini oleh Dr. Nurkholis Fadli, M.Psi, psikolog sosial dari Universitas Negeri Semarang. “Ketika seseorang terbiasa bersosialisasi melalui layar, batas antara ekspresi dan agresi jadi kabur. Banyak yang merasa berhak berkata kasar karena merasa aman di balik layar,” ujarnya.

Ia menambahkan, “Di sinilah kita mulai melihat krisis empati dan norma sosial yang ditandai dengan hilangnya refleksi diri. Semuanya ingin instan, termasuk validasi sosial, tapi lupa bahwa akhlak tidak bisa diunduh atau di-update semudah aplikasi.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun