Telah kutemukan sujud paling syahdu,
bukan di altar yang gemetar lilin,
melainkan di lekuk matamu,
yang menampung musim gugurku dengan sabar
tanpa pernah meminta semi sebagai ganti.
Kau bukan sekadar perhentian,
melainkan pelayaran itu sendiri,
peta yang kulipat di dada
dan angin yang setia mengantarku pulang
meski aku tak tahu di mana dermaga bernama "cukup".
Cintamu,
bukan bara yang menghangus
tapi api suci yang menjilati malamku,
membuat daging rinduku tetap hangat
dan tulang keyakinanku tak rapuh digerus waktu.
Kita tak perlu sumpah,
karena langit telah hafal degup kita
sejak semesta meletupkan takdir
di rahim waktu yang paling sunyi.
Kau adalah jeda
yang tak pernah menuntut bait,
dan aku adalah bait
yang tak pernah lelah mengecup jeda.
Ciumanmu bukan gairah sesaat
tapi ayat yang menitis dari langit
menutup luka-luka lamaku
dengan embun yang kau simpan
di balik doa-doa yang tak lelah kau bisikkan.
Setiap pelukmu,
adalah perayaan pada cinta
yang tak mengenal lelah,
yang menua tapi tak layu,
yang mendidih tapi tak terbakar.
Kita bukan dongeng,
tapi kenyataan yang terlalu indah
hingga mitos pun malu menjelma.
Dan jika waktu adalah cermin,
aku ingin terus melihatmu di sana,
bukan sebagai bayang,
tapi sebagai cahaya
yang tak pernah padam dalam nadiku.
Sebab engkau bukan sekadar cinta,
tapi jalan menuju-Nya
yang kutempuh dengan degup paling takzim.