"Baiklah Dimas, terima kasih atas nasehatnya, "demikian respon Agung Sedayu meladeni nasehat adik seperguruannya ini.
Agung Sedayu memang tidak nampak rajin membaca. Sebab ia sibuk mengelana dan menjalani topo rame (berinteraksi dengan orang). Tidak heran, jika sahabatnya banyak. Antara lain bahkan Panembahan Senopati Ing Ngalogo, Pangeran Benowo, dan kerabat kraton dalam dunia persilatan lainnya.
Untara, kakak kandung Agung Sedayu, adalah punggawa Keraton dengan senjata andalan adalah sebuah Toyan atau tongkat Sakti.
Swandaru, adik seperguruan sekaligus kakak iparnya, adalah seorang Demang.
Agung Sedayu, bagaikan ada di tengah. Bukan pejabat, bukan tokoh publik.
Dianggap lebih rendah dibandingkan Untara, kakak kandungnya.
Dianggap rendah oleh Swandaru, adik seperguruannya.
"Sekali tempo, tunjukkan kepada adikmu, bagaimana tekunnya bacaan dan ilmumu Nak, "kata Kiai Gringsing sekali waktu.
Kiai Gringsing yang sepuh. Kadang sedih melihat Swandaru yang suka merendahkan orang lain. Bahkan kakak seperguruannya.
Namun Agung Sedayu memilih jalan sepi. Topo ngrame dalam praktik. Topo sepi dalam unjuk diri.