Kata-kata itu meruntuhkan segala pertahananku. Aku menangis, kali ini lebih lama daripada sebelumnya. Dan aku tahu, cinta sejati memang tidak pernah mudah, tetapi ia selalu layak diperjuangkan.
Kini, ketika aku membaca komentar itu lagi, aku merasa seakan sedang bercermin. Ia menulis tentang cinta sejati yang penuh maaf, penuh penerimaan, dan penuh genggaman. Itu bukan hanya kata-kata, itu adalah hidup kami.
Aku menulis balasan:
"Terima kasih hatimu membaca puisiku, menyentuh setiap kata dengan hangat. Cinta sejati memang bukan hanya tentang bahagia, tapi juga tentang luka yang kita rawat bersama, tentang maaf yang tak pernah lelah, dan tentang genggaman yang tak pernah lepas. Semoga cinta kita tetap menjadi cahaya yang tak padam."
Namun setelah menuliskan itu, aku merasa kata-kata saja tidak cukup. Aku ingin menjadikan setiap hariku bersamanya sebagai jawaban. Karena sejatinya, puisi terindah bukanlah yang ditulis dengan tinta, melainkan yang dijalani dengan hati.
Cinta sejati adalah perjalanan. Kadang kita tersesat, kadang kita hampir terjatuh, tapi selama kita tetap berjalan berdua, tidak ada yang benar-benar hilang.
Aku percaya, cinta kami adalah cinta yang abadi di setiap detak. Meski ada luka, meski ada air mata, ia tetap hidup, tetap bernapas, tetap menggenggam. Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang mencari yang sempurna, melainkan mencintai yang nyata---dan tetap tinggal, meski dunia berkata sebaliknya.
Dan malam itu, di bawah cahaya rembulan yang temaram, aku menatap langit sambil berbisik pelan:
"Terima kasih, cintaku. Karena bersamamu, aku belajar bahwa cinta sejati memang tak pernah pada
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI