Aku mulai menulis, namun kali ini bukan sekadar puisi, melainkan sebuah cerita---cerita tentang kami.
Hari-hari kami penuh warna. Ada tawa, ada air mata, ada diam panjang yang menegangkan, dan ada pelukan yang mencairkan segalanya. Pernah ia berkata, "Kau tahu, cinta itu seperti menanam bunga. Tidak cukup hanya menyiram saat ingat. Ia butuh kesetiaan, perawatan, dan kesabaran."
Aku menatapnya sambil tersenyum. "Dan kau bunga yang tak pernah layu, bahkan saat aku lupa menyiramnya."
Ia tertawa kecil, lalu menepuk pundakku. "Bunga tetap bisa layu, tapi cinta sejati adalah ketika kau rela merawatnya meski tanganmu terluka duri."
Kata-kata itu terus terngiang. Bukankah benar? Cinta sejati bukan tentang sempurna, tapi tentang keberanian untuk bertahan.
Suatu malam, ketika listrik padam, kami duduk di bawah cahaya lilin. Suasana sunyi, hanya ada suara jangkrik di luar jendela. Ia menggenggam tanganku erat, lalu berkata pelan, "Aku takut suatu hari kita saling melukai."
Aku menatapnya lama. "Kita pasti akan saling melukai. Karena kita manusia. Tapi, bukankah cinta sejati adalah ketika kita memilih untuk tetap tinggal, tetap memaafkan, dan tetap percaya meski ada luka?"
Matanya berkaca-kaca, lalu ia menyandarkan kepala di bahuku. "Kalau begitu, biarlah aku mencintaimu dengan seluruh ketidaksempurnaanmu. Dan semoga kau pun begitu."
Aku mengangguk. Dalam hati, aku berdoa, semoga doa itu selalu menjadi nyata.
Cinta kami bukan cinta yang selalu manis. Ada luka kecil, ada salah paham, ada air mata yang tak jarang mengalir. Namun setiap kali itu terjadi, kami belajar untuk kembali.
Suatu ketika, aku hampir menyerah. Beban hidup terlalu berat, masalah datang bertubi-tubi, dan aku merasa cinta hanya akan menambah luka. Tapi ia datang, duduk di sampingku, dan hanya berkata satu kalimat, "Aku tidak peduli seberapa hancur hatimu, aku tetap ingin tinggal di sana."