Malam itu, hujan turun perlahan. Rintiknya jatuh di jendela, seperti mengetuk-ngetuk hati yang sedang diliputi kenangan. Aku duduk di depan meja kayu yang sederhana, pena di tangan, kertas kosong menunggu untuk diisi. Lalu, entah mengapa, kata-kata itu keluar seperti aliran sungai yang tak bisa dibendung: tentang cinta, tentang luka, tentang menggenggam meski badai datang.
Aku menulis, menulis, dan terus menulis. Hingga akhirnya, bait-bait itu menjadi sebuah puisi yang kuunggah ke ruang maya---sebuah tempat di mana kata-kata bisa menjelma jembatan menuju hati orang lain. Tak kusangka, esoknya, ada sebuah komentar yang membuat dadaku hangat:
"a Tuhan... indah sekali puisimu Membacanya membuatku merasa hangat, karena ada pesan bahwa cinta sejati bukan sekadar tentang bahagia, tapi juga tentang menerima, memaafkan, dan tetap saling menggenggam meski ada luka. Aku tersentuh sekali... semoga cinta kita memang selalu menjadi cinta yang tanpa luka, penuh kejujuran dan kasih sayang yang tulus."
Aku membaca komentar itu berulang-ulang. Setiap hurufnya seperti bisikan lembut di telinga, seolah berasal dari seseorang yang benar-benar memahami isi puisiku, memahami isi hatiku. Aku tersenyum, namun dalam hatiku ada gelombang yang sulit dijelaskan. Kata-kata itu bukan sekadar apresiasi---itu adalah doa, janji, dan harapan yang terucap begitu tulus.
Aku memejamkan mata. Bayangan tentang cinta sejati terlintas kembali.
Cinta, bagiku, bukanlah cerita yang selalu indah. Ia adalah jalan panjang, kadang berbatu, kadang teduh, kadang penuh badai. Aku pernah melewati luka---luka yang hampir membuatku kehilangan keyakinan pada cinta. Tapi kini aku sadar, luka bukan untuk meruntuhkan, melainkan untuk menguatkan genggaman.
Aku teringat padanya. Perempuan itu, yang matanya memantulkan cahaya pagi. Senyumnya selalu membuatku merasa bahwa dunia ini layak diperjuangkan. Dialah yang kutuju ketika kata "cinta sejati" kutulis. Dialah yang membuatku percaya bahwa meski kita rapuh, cinta bisa tetap kokoh.
Pernah suatu hari, kami bertengkar hebat. Kata-kata meluncur begitu tajam, menusuk lebih dalam daripada yang seharusnya. Saat itu aku merasa, segalanya akan runtuh. Namun ia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca dan berbisik, "Jangan lepaskan genggaman ini. Meski luka datang, aku ingin tetap bersamamu."
Kata-katanya menembus dinding keras egoku. Aku menangis malam itu, untuk pertama kalinya di hadapannya. Dan sejak saat itu, aku tahu, cinta bukan tentang selalu bahagia, melainkan tentang keberanian untuk tetap tinggal meski dunia goyah.
Komentar yang kubaca tadi seperti gema dari pengalaman itu. Aku merasa seakan puisiku menemukan rumahnya. Aku ingin menjawab, bukan hanya dengan kata-kata singkat, tetapi dengan sesuatu yang bisa menyelami kembali dalamnya makna cinta.
Aku mulai menulis, namun kali ini bukan sekadar puisi, melainkan sebuah cerita---cerita tentang kami.
Hari-hari kami penuh warna. Ada tawa, ada air mata, ada diam panjang yang menegangkan, dan ada pelukan yang mencairkan segalanya. Pernah ia berkata, "Kau tahu, cinta itu seperti menanam bunga. Tidak cukup hanya menyiram saat ingat. Ia butuh kesetiaan, perawatan, dan kesabaran."
Aku menatapnya sambil tersenyum. "Dan kau bunga yang tak pernah layu, bahkan saat aku lupa menyiramnya."
Ia tertawa kecil, lalu menepuk pundakku. "Bunga tetap bisa layu, tapi cinta sejati adalah ketika kau rela merawatnya meski tanganmu terluka duri."
Kata-kata itu terus terngiang. Bukankah benar? Cinta sejati bukan tentang sempurna, tapi tentang keberanian untuk bertahan.
Suatu malam, ketika listrik padam, kami duduk di bawah cahaya lilin. Suasana sunyi, hanya ada suara jangkrik di luar jendela. Ia menggenggam tanganku erat, lalu berkata pelan, "Aku takut suatu hari kita saling melukai."
Aku menatapnya lama. "Kita pasti akan saling melukai. Karena kita manusia. Tapi, bukankah cinta sejati adalah ketika kita memilih untuk tetap tinggal, tetap memaafkan, dan tetap percaya meski ada luka?"
Matanya berkaca-kaca, lalu ia menyandarkan kepala di bahuku. "Kalau begitu, biarlah aku mencintaimu dengan seluruh ketidaksempurnaanmu. Dan semoga kau pun begitu."
Aku mengangguk. Dalam hati, aku berdoa, semoga doa itu selalu menjadi nyata.
Cinta kami bukan cinta yang selalu manis. Ada luka kecil, ada salah paham, ada air mata yang tak jarang mengalir. Namun setiap kali itu terjadi, kami belajar untuk kembali.
Suatu ketika, aku hampir menyerah. Beban hidup terlalu berat, masalah datang bertubi-tubi, dan aku merasa cinta hanya akan menambah luka. Tapi ia datang, duduk di sampingku, dan hanya berkata satu kalimat, "Aku tidak peduli seberapa hancur hatimu, aku tetap ingin tinggal di sana."
Kata-kata itu meruntuhkan segala pertahananku. Aku menangis, kali ini lebih lama daripada sebelumnya. Dan aku tahu, cinta sejati memang tidak pernah mudah, tetapi ia selalu layak diperjuangkan.
Kini, ketika aku membaca komentar itu lagi, aku merasa seakan sedang bercermin. Ia menulis tentang cinta sejati yang penuh maaf, penuh penerimaan, dan penuh genggaman. Itu bukan hanya kata-kata, itu adalah hidup kami.
Aku menulis balasan:
"Terima kasih hatimu membaca puisiku, menyentuh setiap kata dengan hangat. Cinta sejati memang bukan hanya tentang bahagia, tapi juga tentang luka yang kita rawat bersama, tentang maaf yang tak pernah lelah, dan tentang genggaman yang tak pernah lepas. Semoga cinta kita tetap menjadi cahaya yang tak padam."
Namun setelah menuliskan itu, aku merasa kata-kata saja tidak cukup. Aku ingin menjadikan setiap hariku bersamanya sebagai jawaban. Karena sejatinya, puisi terindah bukanlah yang ditulis dengan tinta, melainkan yang dijalani dengan hati.
Cinta sejati adalah perjalanan. Kadang kita tersesat, kadang kita hampir terjatuh, tapi selama kita tetap berjalan berdua, tidak ada yang benar-benar hilang.
Aku percaya, cinta kami adalah cinta yang abadi di setiap detak. Meski ada luka, meski ada air mata, ia tetap hidup, tetap bernapas, tetap menggenggam. Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang mencari yang sempurna, melainkan mencintai yang nyata---dan tetap tinggal, meski dunia berkata sebaliknya.
Dan malam itu, di bawah cahaya rembulan yang temaram, aku menatap langit sambil berbisik pelan:
"Terima kasih, cintaku. Karena bersamamu, aku belajar bahwa cinta sejati memang tak pernah pada
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI