Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan , Gantung Diri, dan Masalah Bullying di Sekolah Kita

27 Juli 2025   23:23 Diperbarui: 27 Juli 2025   23:23 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: nusabali.com

Hari itu, Garut tidak hanya menyeduh kopi. Ia menyeduh duka. Seorang bocah lelaki, masih berumur enam belas, memilih tali jemuran sebagai jalan keluar dari dunia yang mestinya menjanjikan pelajaran, bukan penderitaan. Di sebuah rumah sederhana, tanpa surat wasiat, tanpa pesta perpisahan, ia pamit diam-diam: menggantungkan tubuhnya---dan mungkin juga harapannya---pada seutas tali yang lebih tegas daripada nasibnya sendiri.

Tentu saja kita terguncang. Tapi seperti biasa, gegar itu tak pernah lama. Besok kita akan kembali mengutuk cuaca, menggosip harga cabai, dan mengganti topik. Toh hidup terus berjalan. Yang gantung diri itu kan bukan anak kita.

Lalu, negara pun datang.

Datang dengan sepatu disemir, lencana berkilau, dan pernyataan resmi. Kepala Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah XI, bernama Aang (bukan pengendali udara dari serial Avatar), berkata bahwa "kami sudah sejak awal merespons serius kejadian ini." Serius, katanya.

Ia tidak tertawa. Tapi kita mungkin harus.

Sebab "serius" kini telah menjadi mantra paling sering dipakai untuk menutupi kekosongan. Seperti nasi kotak dalam rapat darurat, kata "serius" tak pernah absen. Bahkan saat para pejabat saling menyalahkan di depan mikrofon, mereka tetap serius. Begitu serius sampai kita lupa bahwa yang mati itu bukan statistik, melainkan seorang anak.

Menurut pihak berwenang, tidak ada tanda-tanda kekerasan fisik. Artinya, tidak ada tangan yang menampar. Tidak ada kaki yang menendang. Tidak ada sabetan penggaris kayu di paha. Tapi siapa yang pernah bisa mengukur luka pada jiwa?

Perundungan, dalam banyak kasus, bukan soal memar yang bisa difoto dan dijadikan bukti di pengadilan. Ia lebih seperti kabut: tak terlihat jelas, tapi menyelimuti segalanya. Kadang berupa bisikan kecil di lorong kelas. Kadang berupa tatapan yang tak bersahabat, atau komentar di grup WA yang lebih tajam dari pisau.

Tapi karena tak bisa difotokopi dan dilampirkan ke BAP, maka kita pun sering membiarkannya. "Ah, anak zaman sekarang memang lemah," kata mereka yang tumbuh besar dengan didikan sandal jepit dan cubitan ibu guru.

Tak lama setelah jasad sang siswa diturunkan, negara bekerja cepat: kepala sekolah langsung dinonaktifkan. Tak sempat cuci tangan, tak sempat bilang "saya tidak tahu."

Ini mungkin satu-satunya respons cepat negara yang bisa dipuji. Biasanya kita harus menunggu lama, hingga perhatian publik menguap, barulah ada "evaluasi menyeluruh."

Sayangnya, pemecatan itu bukan jaminan bahwa perundungan akan hilang dari sekolah-sekolah. Sama seperti membuang nasi basi tidak otomatis membuat dapur kita bersih. Perundungan adalah kulat yang menyebar diam-diam. Ia tumbuh dalam sistem yang percaya bahwa anak baik adalah anak diam. Ia merambat dalam ruang guru, di mana canda kadang berubah jadi cela. Ia disiram dengan ketakutan, dipupuk oleh pembiaran.

Ah, sekolah kita.

Tempat anak-anak dituntut menghormati guru, bahkan jika guru itu tak pernah menghormati anak-anak. Tempat siswa diharuskan patuh, bahkan jika perintahnya salah. Tempat prestasi diukur dari angka-angka yang bisa dimanipulasi, bukan dari empati yang tak masuk silabus.

Sekolah mestinya jadi tempat belajar. Tapi tak jarang ia justru berubah jadi laboratorium kekuasaan kecil-kecilan. Murid-murid pintar menjadi raja kecil. Yang "berbeda" akan menjadi bulan-bulanan. Anak pendiam jadi korban favorit. Dan guru-guru? Kadang mereka tutup mata. Kadang ikut tertawa.

Kasus Garut hanyalah satu dari ribuan tragedi yang tak sempat viral. Yang tidak sempat trending. Yang tidak sempat diangkat ke DPRD untuk rapat dengar pendapat penuh drama. Kita tahu, bunuh diri bukan hal baru. Tapi setiap kali itu terjadi, negara selalu tampak kaget. Seolah tidak ada indikator. Seolah anak-anak kita semua baik-baik saja.

Padahal data BPS sudah lama bicara. Survei Kesehatan Jiwa Remaja dari Kementerian Kesehatan sudah lama bersuara. Tapi suara-suara itu, seperti suara siswa yang diam, tenggelam dalam kebisingan upacara dan lomba 17 Agustus.

Tentu, penyelidikan masih berlangsung. Tim gabungan dari Dinas Pendidikan, Kementerian Hukum dan HAM, kepolisian, dan---entah kenapa---mungkin juga petugas pemadam kebakaran, sedang sibuk bekerja. Kita doakan mereka tabah memeriksa kronologi, mengumpulkan kesaksian, dan menyusun pernyataan pers yang sopan.

Dan saat mereka selesai, kita akan mendapatkan sebuah laporan. Mungkin dalam format PDF. Dengan stempel basah dan tanda tangan pejabat. Laporan itu akan berkata banyak hal: bahwa proses sudah dilalui, bahwa semua pihak sudah diperiksa, bahwa lingkungan sekolah akan diperbaiki. Tapi apakah akan menjawab pertanyaan paling penting: kenapa anak itu mati?

Entahlah.

Sementara itu, media sosial sudah lebih dulu menggelar pengadilan. Netizen dengan kecepatan 4G telah menuduh, menghukum, dan memvonis. Semua punya pendapat. Semua merasa benar. Semua berteriak: "Jangan ada perundungan!"

Sebuah deklarasi pun digelar di Tasikmalaya. Para guru berikrar: Sekolah Ramah Anak! Spanduk dicetak. Foto diunggah. Tapi adakah spanduk yang bisa menghalau bisikan kejam di ruang kelas? Adakah deklarasi yang bisa melindungi anak-anak dari rasa takut yang mereka bawa pulang?

Barangkali kita perlu lebih jujur.

Bahwa sistem pendidikan kita sedang tidak sehat. Ia tidak memberi ruang bagi anak untuk menangis. Ia tidak memberi ruang bagi guru untuk lelah. Ia tak memberi ruang bagi sekolah untuk gagal tanpa dimarahi Dinas. Maka semua orang berpura-pura.

Guru berpura-pura mengajar. Murid berpura-pura belajar. Dan kepala sekolah berpura-pura semuanya baik-baik saja. Sementara di sudut kelas, seorang anak diam-diam mencari tali.

Kini jasad itu sudah dikubur. Tapi soalnya belum selesai. Kita masih belum tahu, apakah setelah ini kita akan berubah. Atau kita hanya akan menyusun kurikulum baru tentang empati yang tidak pernah diajarkan. Atau malah membentuk tim satgas anti-gantung diri---lengkap dengan anggaran dan seragam.

Sebab negeri ini punya kebiasaan unik: setiap tragedi disambut dengan seminar. Setiap kematian jadi peluang proyek. Dan setiap nyawa hilang, diabadikan dalam press release yang terlambat.

Kita berharap ada keadilan. Tapi keadilan macam apa yang bisa menebus hidup seorang bocah yang sudah tak bisa pulang? Kita minta kepala sekolah dicopot. Baik. Tapi adakah kepala sistem yang akan ikut bertanggung jawab?

Sementara itu, sekolah-sekolah terus berdiri. Dengan pagar tinggi dan CCTV di setiap sudut. Tapi tidak ada kamera yang bisa menangkap perasaan. Tidak ada sensor yang bisa membaca kesepian.

Anak-anak tetap berangkat pagi, pulang sore. Mereka membawa tas penuh buku. Tapi juga penuh beban yang tak terlihat. Dan kita---orang tua, guru, negara---masih percaya bahwa selama mereka tidak mengeluh, berarti mereka kuat.

Kita lupa bahwa diam juga bisa menjadi jeritan.

Dan Garut?

Ia kembali ke ritmenya. Menyeduh kopi. Menawarkan kuliner. Menjamu turis. Dan sesekali, mengubur anak-anak yang terlalu lelah untuk bertahan.

Catatan Penutup:
Untuk bocah 16 tahun yang tak sempat lulus dari SMA, tapi lebih dulu lulus dari dunia.

Semoga Tuhan, yang tak butuh kurikulum, menerimamu dengan pelukan paling hangat. Moga  damai selalu***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun