Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Fatamorgana (1) #7

18 September 2018   09:28 Diperbarui: 18 September 2018   09:31 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita ini merupakan fragmen ketujuh bagian pertama dalam omnibus Tenggelam di Langit. Bacalah cerita sebelumnya untuk memahami semesta mereka dengan lebih utuh.

Fragmen 1. Eksoskeleton

Fragmen 2. Elegi Jasad Renik

Fragmen 3. Metazoa (1)

Fragmen 3. Metazoa (2)

Fragmen 4. 344 Meter per Sekon

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (1)

Fragmen 5. Ketika Kabut Itu Pergi (2)

Fragmen 6. Muson Barat

***

Fragmen 7. Fatamorgana (1)

(Semesta dalam perspektif orang ketiga)

Mengapa indah pelangi begitu mudah pergi?

Pesan singkat berbau metaforis campur banyak melankolis itu sampai di telepon genggam seorang pria setengah baya. Ia menunjukkannya padaku seraya bertanya, "Menurutmu, apa jawabannya?"

Tak siap ditanya, aku mengangkat bahu. "Entahlah, mungkin karena Tuhan ingin kita lebih menghargainya."

Dia hanya mengangguk-angguk dengan raut yang sulit ditebak. Tidak tampak setuju, apalagi menyangkal. Satu ekspresi ambigu yang mengagumkan. Dalam perdebatan kami, aku merasa kalah setiap kali ia mengalah.

Aku meraih secangkir kopi hitam. Baru saja aku ingin memberi jawaban lain ketika pemilik kedai mendadak panik, kalang kabut keluar. Kecemasan mengisi gurat wajahnya. 

Belasan orang itu datang lagi. Kali ini, mereka bersama beberapa orang bersenjata api dan buldoser. Menciptakan atmosfer teror bagi pemilik bangunan di sepanjang tepi rel kereta api.

Setiap orang mempertahankan segala hal yang mereka bangun selama bertahun-tahun. Mereka berkerumun menantangi buldoser, bertengkar dengan petugas berseragam hijau. Ricuh. Kata menyerah tidak ada dalam kamus kedua kubu.

Seorang pria setengah baya yang kukenal mengadang laju buldoser yang hendak menyerang kedai kopi.

Terlambat, dia tertimbun bersama kayu lapuk dan seng-seng berkarat. Aku tersentak, tanganku tiba-tiba berada pada kemudi buldoser yang membunuhnya.

Aku melepaskan genggaman, tapi benda ini menolak berhenti, membabi buta. Meratakan setiap bangunan bersama orang-orang yang menjadi penghalang. Setiap kali ada yang mati, darah melumuri tanganku semakin pekat.

Pada akhirnya, tinggal aku sendirian. Dikelilingi tubuh-tubuh bergelimpangan. Aku memejamkan mata, ketakutan. 

Ketika tersadar, aku berada di tengah rel, berhadapan dengan kereta api yang melaju kencang.

Satu ... dua ... tiga ..., aku menghitung waktu hingga ...

Kurasakan sakit di sekujur tubuh. Terguling di atas lantai keramik. Buldoser, kereta api, dan tubuh-tubuh bergelimpangan menghilang. 

Mimpi yang sama lagi dalam dua hari, sejak peristiwa kelam di proyek reklamasi.

"Astaghfirullah! Ayah, baik-baik saja?" tanya istriku panik.

Aku mengangguk, mengusap punggung dan lengan yang terasa ngilu. Tersenyum pada perempuan lembut yang membantuku kembali ke tempat tidur. 

Kericuhan lenyap oleh hening yang menyeruak, tapi aku merasa ada kesalahan. Sepanjang malam aku terpejam, namun tetap memeluk kesadaran.

Mimpi itu bukan hanya sebentuk rekayasa alam bawah sadar, melainkan memori yang terpanggil kembali. Kedai kopi dan pria setengah baya, mereka bagian dari masa lampau yang tersimpan dalam. Penggusuran itu pernah terjadi lebih dari dua puluh tahun silam. Aku mengenali tempat dan wajah-wajah mereka.

Dia sahabatku, pria setengah baya bijaksana. Aku memanggilnya Gau. Ia sosok yang saban Sabtu Minggu menemaniku minum kopi di tepi rel kereta api.

Semasa SMA, kami selalu bersama hingga terpisahkan oleh nasib yang berbeda. Aku melanjutkan kuliah hingga S2, sementara Gau membantu pekerjaan ayahnya sebagai nelayan di pantai utara. Sejak itu, kami hanya bertemu dua kali seminggu di kedai kopi. Pertemuan yang lantas diakhiri oleh tragedi bagi seluruh bangunan berisi ratusan penghuni.

Memang, sudah menjadi tabiat mimpi buruk untuk menjadi menakutkan. Aku tidak pernah mengendalikan buldoser, dan Gau masih hidup saat itu terjadi. Bersama beberapa pria, Gau dibawa ke kantor polisi karena dianggap menghalangi dan melakukan provokasi.

Dari kejauhan, aku memandanginya pergi tanpa ekspresi. Aku sudah lari bersembunyi ketika beberapa orang mulai saling memaki. Aku yang pengecut dan Gau yang pemberani.

Sejak itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.

Seingatku, hanya sepucuk suratnya yang datang ke rumah. Dalam amplop jingga tanpa alamat pengirim. Surat berisi pesan-pesan untukku, sebagai walikota baru di Karagan. Aku tidak ingat isinya, tidak sempat membalasnya, dan tidak tahu surat itu tersimpan dimana.

Mengenang Gau, membuatku merasa tak layak menjadi manusia.

Istriku menyibak tirai jendela. Sesak.

Aku merasa dikhianati paru-paru sendiri. Pagi yang seharusnya baik hati, kali ini begitu menyiksa. Sebuah pesan masuk, ratusan mahasiswa menanti di gerbang kantor pemerintah kota.

Dengan langkah gontai, aku melaksanakan sholat yang terlambat. Bersiap tanpa semangat. Memaksakan diri menuju meja makan. Aku butuh tenaga, tapi roti lapis dengan selai berwarna merah ini malah membuatku mual, teringat mimpi semalam.

Aku pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Melajukan mobil seorang diri, menuju ke selatan. Meninggalkan sopir yang kebingungan dan mobil dinas di garasi. Menjauhi jalur menuju kantor, aku berbelok masuk ke jalan kecil yang dikepung rimbunan pohon.
Sejenak, kurasakan damai dari kicau burung dan berkas cahaya yang menelusup di celah-celah daun. 

Aku menurunkan kecepatan. Menghanyutkan diri dalam nuansa hangat yang membuatku lebih tenang.

Tak bisa kubayangkan, betapa mudah aku mengizinkan orang-orang memberangus ini semua dan menggantinya dengan tembok-tembok tebal. Kehidupan perkotaan meminta terlalu banyak tumbal.

Tak lama berselang, kedamaian berakhir di ujung jalan. Aku memasuki kawasan permukiman. Bantaran sungai dan lahan-lahan marginal yang rawan penggusuran.

Kurasakan sekali lagi paru-paruku gagal menguasai diri. Aku bernapas seperti orang tengah berlari. Kenangan dan kesadaran mengikatku dalam kumparan yang terasa begitu menjerat.

Selama ini, aku tidak paham alasan orang-orang bertahan di permukiman kumuh yang bisa saja sampai membunuh. Melalui mimpi mengerikan itu, aku menyadari bahwa mereka memang tidak mampu pergi. Mereka terikat pada hal-hal yang tidak mudah dimengerti oleh kelas menengah kota ini.

Kebanyakan mereka menganggap masa depan hanya cerita pengantar tidur bagi anak-anak kecil. Rencana menjadi algoritma yang terlalu rumit. Mereka terjebak dalam jaring prioritas jangka pendek. Makanan untuk esok hari dan hiburan murah yang mudah dijangkau. Berpikir membutuhkan waktu lebih banyak, sementara istri mereka sudah rindu menggunakan dapur.

Perkotaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, menolak mereka sejak di pintu gerbang. Jaminan sosial dan lapangan kerja menjadi dua fatamorgana yang menipu banyak orang. Kantor-kantor pelayanan masyarakat diramaikan oleh para petugas yang suka mengeluh dan orang-orang malang yang tidak mengerti persoalan administrasi.

Mengapa indah pelangi begitu mudah pergi?

Pesan singkat dan wajah Gau muncul sekelebatan. Juga sepasang mata penuh luka milik gadis bernama Neira.

Aku termenung menatap jam tangan yang menunjukkan pukul delapan. Lantas berbelok ke kanan, melaju, semakin jauh dari kantor pemerintahan.

***

Gapura itu bagai pintu masuk ke negeri dongeng. Dihiasi sulur rimbun dan bunga-bunga warna magenta. Tanaman pagar digunting rapi, dibentuk menyerupai barisan huruf yang terbaca M-E-T-A-Z-O-A.

"Bisa ya, walikota pergi tanpa pengawalan?" tanya seorang gadis berkerudung hitam di depan gerbang.

Aku tersenyum. Sama seperti sebelumnya, Neira menghindar ketika kami beradu pandang. Kurasa aku tahu alasannya, tapi tidak siap jika harus memastikan.

"Wajah saya pasaran, ditambah kacamata dan topi saja wartawan tidak akan sadar," jawabku, bersikap seramah yang kumampu.

Neira membuka pintu gerbang yang masih berlabel CLOSED. Aku tersenyum. Kumasuki pintu masuk dengan ayunan langkah ringan. Dan, terpana. Ternyata gerbang ini benar-benar menyimpan negeri dongeng di dalamnya.

Dua orang penunggang kuda melintas, mengucapkan selamat pagi. Pak Wangsa melambaikan tangan ke arah kami. Seekor ular besar tergantung di lehernya. Semua orang melenggang tenang, sementara seekor singa jantan berjalan bebas di luar kandang. Berdampingan dengan pemuda yang tampak santai seperti tengah membawa anjing peliharaan untuk jalan-jalan.

"Bagaimana kalian melakukan ini?" tanyaku penuh kekaguman.

"Melakukan apa?"

"Ini semua. Mereka terlihat sangat jinak."

"Kami tidak menggunakan kata 'jinak' di sini. Mereka bersahabat. Metazoa adalah persahabatan."

"Metazoa nama yang menarik. Kenapa memilih nama itu?"

"Bapak tidak tahu? Itu nama usulan Reno. Metazoa bagi kami menjadi simbol bahwa manusia dan spesies lain di muka bumi ini memiliki kesamaan. Kita memiliki satu raja dalam satu kerajaan. Kita semua berhak mendapatkan perlakuan baik dan hidup harmonis tanpa saling menyakiti," jawab Neira dengan kilau mata berpendaran.

"Bagaimana dengan hewan liar? Eh ... maksud saya yang tidak bersahabat. Predator misalnya," tanyaku seraya menunjuk singa yang tengah bersandar santai di bawah pohon rindang.

"Mereka memang predator, tapi selama tidak kelaparan, semua aman. Mereka butuh rasa percaya untuk bisa bersahabat. Kami harus mampu dipercaya dan memberi mereka kepercayaan. Sulit memang, tapi itulah inti persahabatan kan?"

Aku termenung. Gau pernah menyebut hal serupa dengan istilah solidaritas dan kesetaraan antar semua makhluk Tuhan. Gadis ini berbicara persis sepertinya. Sorot mata dan ketegasan mereka pun nyaris tidak berbeda.

Bijaksana, lembut, sekaligus berbahaya. Bagai keanggunan singa yang membuat segan lingkungannya.

Hilir mudik, sinapsis otakku mencoba berkomunikasi. Kali ini paru-paruku berhasil mengikat oksigen dengan sangat baik. Sintesa protein dalam tempurung kepalaku begitu intensif. Aku memahami satu hal yang berarti banyak. Metazoa.

Persahabatan, solidaritas, kesetaraan, dan kepercayaan.

Itu semua belum kami miliki di kota ini. Masyarakat tak lebih dari kelinci eksperimen program-program pemerintahan. Kebingungan, dan menjadi korban atas tendensi politik-ekonomi yang memihak pemodal besar.

Ya, itu dia. Kami yang seharusnya menjadi pelayan bagi banyak orang, malah bertindak laiknya pengusaha yang terus berpikir soal pendapatan. Akhirnya, terjadi malapraktik dalam pembangunan Kota Karagan.

Angka-angka besar dalam laporan tidak ada artinya jika banyak pihak yang dirugikan. Kami seperti memindahkan pundi-pundi uang dari kantung pengasong ke brankas baja para pengembang.

Aku merutuk diri sendiri. Sial. Sejak awal, pertanyaannya yang salah. Menggiring kami pada jawaban-jawaban bodoh yang menyamar jadi solusi terbaik.

Fatamorgana ada di mana-mana. Kami mengejarnya tanpa tujuan pasti selain peningkatan grafik-grafik keuangan. Hanya demi janji-janji investasi, kami berkorban nyawa sebagai basa-basi.

"Neira, sebenarnya ada hal penting yang ingin saya bicarakan," kataku hati-hati.

"Ya, ada apa?"

"Tentang ... ayah kamu. Saya minta maaf," ujarku pelan. Saat ini aku yang tidak berani menatap matanya. Aku hanya menunduk, dalam. Memikirkan kata-kata selanjutnya. "Kamu boleh membenci saya. Pengecut sekali memang. Saya merasa dikejar-kejar dosa. Tapi percayalah, pemberian saya setelahnya bukan untuk membungkam kalian. Saya hanya ingin menebus..."

"Sudah, Pak. Penjelasan itu sia-sia belaka. Semua sudah lewat," jawab Neira dengan intonasi datar. Tidak mudah ditebak apa yang sesungguhnya ia pikirkan. "Saya hanya ingin bertanya satu hal."

"Ya, tanyakan saja."

"Mengapa indah pelangi begitu mudah pergi?"

Aku tersentak. Desiran lembut angin dhuha malah membuat bulu kudukku meremang. Proyeksi Gau berdiri di hadapanku. Tersenyum dan bertanya, "Menurutmu, apa jawabannya?"

Hanya beberapa detik hingga sosoknya menghilang dan kembali menjadi Neira. Kali ini, dia menatapku tajam. Lidahku kelu, namun kupaksakan untuk menjawab, "Karena...tidak nyata."

Tanpa diduga, Neira tertawa. Cerah. Awan di pelupuk matanya menyibak. Wajah paling tulus yang pernah dia tampakkan semenjak kami bertemu. Aku ikut tertawa, meski tidak tahu alasannya.

"Ayah saya juga menjawab hal yang sama. Sepertinya itu jawaban dari bapak-bapak ya," katanya ringan. Dia menganggapnya lelucon, tapi bagiku seperti ledakan bom. Siapa ayahnya?

"Neira, maafkan saya. Selama ini belum pernah berziarah ke makam ayah kamu. Boleh saya datang? Dimana?" tanyaku, berusaha tampak tenang.

Neira seketika menarik senyumnya, kembali muram. "Bapak benar-benar tidak tahu?"

Aku menggeleng bingung. "Petugas-petugas di lokasi kejadian, hanya mengatakan satu orang menjadi korban dalam penggusuran. Saya hanya terpikir untuk segera meminta maaf pada keluarganya, sebelum terjadi keributan besar dan memakan lebih banyak nyawa. Saya mengetahui wajah kamu lewat foto."

Neira diam saja, menunduk. Aku mengganti pertanyaan, "Hmm... kalau boleh tahu, siapa nama ayah kamu? Saya ingin meminta maaf secara terbuka sebelum mengakhiri semua urusan pemerintahan."

Usai mengatakan itu, ada batu besar yang terangkat dari dalam pikiranku. Keputusan besar untuk berhenti, akan segera menjadi konsumsi wartawan. Aku butuh melepaskan tangan dari kemudi sebelum terjadi lebih banyak kerusakan.

"Adrian."

"Nama ayah kamu Adrian? Baiklah. Adrian saja?"

"Adrian ... Gautama. Semua orang memanggilnya Gau," jawabnya lirih, tapi menghunus.

Batu yang lebih besar seperti dihantamkan ke kepalaku. Pipiku panas. Ribuan semut menyerang sendi-sendi tulang. Kudengar alam kabir tertawa puas. Seolah belum cukup menjadi bulan-bulanan realita, Neira mengatakan hal yang lebih nelangsa.

"Ayah masih terkubur di halaman rumah Bapak. Orang-orang yang datang ke rumah mengatakan akan terjadi kericuhan kalau Ayah dikeluarkan dari sana."

Mendadak, bahasa dan aksara bertebaran keluar, tercecer tanpa bisa kurangkai. Diam oleh kekacauan pikiran menjadi satu-satunya pilihan yang kupunya. 

Aku beranjak dari duduk, ingin segera pulang, mengorek halaman rumah, mencari Gau.

"Satu saja permintaan kami. Apa Bapak bersedia memindahkan Ayah ke pemakaman?" tanya Neira getir.

Aku remuk mendengar anak sahabatku memohonkan hal sendu seperti ini.
Mimpi-mimpi itu tidak berbohong. Aku memegang pelatuk pada kematian sahabatku sendiri. Tanganku pekat oleh darah Gau dan orang-orang yang tersakiti.

"Menurutmu, apa jawabannya?" tanya seseorang, menepuk pundakku dari belakang. 

Tubuhku tersentak dan berbalik. Sosok Gau menjadi satu visual terakhir yang kulihat sebelum cahaya indah dhuha menjadi sketsa hitam putih tidak beraturan. 

Gelap.

.... bersambung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun