Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Metazoa (1) #3

11 September 2018   06:47 Diperbarui: 18 September 2018   00:49 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fragmen ketiga dari omnibus Tenggelam di Langit. Kalian bisa membaca fragmen pertama (Eksoskeleton) dan kedua (Elegi Jasad Renik) terlebih dulu untuk dapat melihat semesta mereka secara lebih utuh.

***

Fragmen 3. Metazoa (1)

Semesta dalam perspektif orang kedua.

Sungai-sungai dan anggaran daerah kini mengalir ke muara yang sama. Pesisir utara menjadi sorotan Kota Karagan. Pundi-pundi tak menyisakan receh untuk kampung wisata tua di perbatasan. Anak-anak, ibu-bapak, kakek-nenek, meringkuk di sudut pembaringan. Sayu menatap pinggan, meratap kelaparan.

Jantung ibu muda bernama Windi, tak berdetak lagi pagi ini. Kami digempur duka tanpa koma. Minggu lalu, dua bayi manis menemui ajal pasca dilahirkan. Mereka bahkan tak sempat diberi nama. Semua tak ingin menanggung beban lebih dalam. Kami sepakat menghapus mereka dari kenangan.

Kampung kami bergelimang dilema. Ketika lolong kesakitan lebih menenangkan daripada senyap kematian. Raga-raga tergolek, sekuat tenaga menahan nyawa lebih lama. Lahan pemakaman tak cukup lapang. Kami terpaksa mengubur dua-tiga jasad berhimpitan dalam satu liang.

Sempat terpikir ide gila membawa seisi kampung berparade ke pusat kota. Mungkin akan lebih banyak yang percaya bahwa Pak Wira, walikota kebanggaan mereka tak lebih baik dari serangga. Aku tidak percaya perdukunan, tapi teori temanku menjadi satu penjelasan tersisa. Pak Wira membutuhkan tumbal, demi melancarkan proyek reklamasi yang dikaji dengan abal-abal.

Sulit dipercaya, pemerintah begitu kukuh mengejar fatamorgana. Seolah tak cukup bengis merusak tata ruang air, kedangkalan pikir memaksa seluruh figuran tersingkir. 

Serasa masih di depan mata, para nelayan berarak pergi digiring senapan. Mereka dibawa lima koma delapan puluh tiga kilometer ke selatan, masuk ke penampungan, menunggu rumah susun siap disewakan. Pantai terbebas dari rumah lapuk nelayan. Sekte pengusaha keji sumringah menyemai ladang, berebut menanam modal. Grand design sudah terpampang.

Ekosistem menggelepar, hamparan hayati kehilangan jati diri. Danau diciduk, lahan basah diuruk. Sungai bersiap meluap saat musim penghujan tiba. Di saat anak-anak lapar tersengat matahari, pemimpin kami lebih peduli perut buncit penguasa properti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun