Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Fatamorgana (1) #7

18 September 2018   09:28 Diperbarui: 18 September 2018   09:31 899
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memang, sudah menjadi tabiat mimpi buruk untuk menjadi menakutkan. Aku tidak pernah mengendalikan buldoser, dan Gau masih hidup saat itu terjadi. Bersama beberapa pria, Gau dibawa ke kantor polisi karena dianggap menghalangi dan melakukan provokasi.

Dari kejauhan, aku memandanginya pergi tanpa ekspresi. Aku sudah lari bersembunyi ketika beberapa orang mulai saling memaki. Aku yang pengecut dan Gau yang pemberani.

Sejak itu, aku tidak pernah melihatnya lagi.

Seingatku, hanya sepucuk suratnya yang datang ke rumah. Dalam amplop jingga tanpa alamat pengirim. Surat berisi pesan-pesan untukku, sebagai walikota baru di Karagan. Aku tidak ingat isinya, tidak sempat membalasnya, dan tidak tahu surat itu tersimpan dimana.

Mengenang Gau, membuatku merasa tak layak menjadi manusia.

Istriku menyibak tirai jendela. Sesak.

Aku merasa dikhianati paru-paru sendiri. Pagi yang seharusnya baik hati, kali ini begitu menyiksa. Sebuah pesan masuk, ratusan mahasiswa menanti di gerbang kantor pemerintah kota.

Dengan langkah gontai, aku melaksanakan sholat yang terlambat. Bersiap tanpa semangat. Memaksakan diri menuju meja makan. Aku butuh tenaga, tapi roti lapis dengan selai berwarna merah ini malah membuatku mual, teringat mimpi semalam.

Aku pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Melajukan mobil seorang diri, menuju ke selatan. Meninggalkan sopir yang kebingungan dan mobil dinas di garasi. Menjauhi jalur menuju kantor, aku berbelok masuk ke jalan kecil yang dikepung rimbunan pohon.
Sejenak, kurasakan damai dari kicau burung dan berkas cahaya yang menelusup di celah-celah daun. 

Aku menurunkan kecepatan. Menghanyutkan diri dalam nuansa hangat yang membuatku lebih tenang.

Tak bisa kubayangkan, betapa mudah aku mengizinkan orang-orang memberangus ini semua dan menggantinya dengan tembok-tembok tebal. Kehidupan perkotaan meminta terlalu banyak tumbal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun