Nyaring membahana ayat-ayat fatamorgana. Bertebaran di alam raya. Hanya untuk kebenaran semu
Dalam kebebasan berekspresi dan berkomunikasi yang hampir tanpa batas, istilah dan tradisi dialog pun menjadi langka dan asing ditemui lagi
Aku tidak membutuhkan, mahluk menyedihkan semacam kamu.
Setiap saat ke dalam kehidupan kita hadir fatamorgana, sesuatu yang seperti tampak memesona yang ternyata hanya ilusi.
Namun tetap kau lena tidur dengan hangatnya selimut yang kupakai untuk malammu yang dingin.
Terbangun kala mentari mengintip. Ah, kembali mengejar kehidupan. Berlomba-lomba menuju kesuksesan
Kering mulai terasa Tanaman ada yang kering rindukan air Hujan bukan andalan lagi tuk setiap saat hampiri
Hikmah sholat tarawih malam kedua puluh satu adalah Allah akan membangunkan rumah di surga dari cahaya
Menjelang senja, Kulangkahkan kaki menuju stasiun kereta, Jalanan ramai angkutan kota
Jangan biarkan sebuah keputusan bersama menjadi pelan merobek oleh sebuah inkonsistensi
Puisi ini bercerita tentang mencintai suami orang, lalu mundur teratur, setelah banyak pertimbangan dan sebagainya.
Puisi Fatamorgana merupakan kisah cinta dalam kesemuan. Kebersamaan dalam bingkai sandiwara kesempurnaan.
Mungkin hanya dalam sanubari semata. Segala rasa boleh terbina
Cintamu serupa sajian air laut bagi musafir yang kehausan. Berlimpah namun tak tertelan
Dunia ini ilusi, jika bukan ilusi pasti sifatnya abadi.
Memandang warna-warni dan bentuk rupa bunga beriring dengan melodi bernada indah
Terombang Buih alunan, Tersesat Dalam keriuhan. Nurani Terisak sedih, Logika Terbuai manja
Tentang senja yang selalu hadir dengan segala bentuk dan keadaannya
Kebusukan berbalut kesetiaan akan terjawab seiring perubahan materi pemikat habis berangsur. Tak ada kawan setia kecuali jiwa berpegang pada iman.
dan kalau tak bahagia dengan cinta mungkin aku akan merupa filsuf, makanya aku akan selalu siap patah hati misal kau dan seluruhmu pergi