"Ah, jangan menyanyi itu!" larangku.
"Dik, besok-besok ... kalau misalnya aku duluan, kamu kunanti di bawah pohon kamboja, ya! Jangan lupa!" selorohnya.
"Ishh, apaan sih!" sewotku.
"Ya, 'kan umur nggak ikut memiliki, tapi aku janji akan menantimu di sini," tegasnya sambil menunjuk pohon kamboja.
"Nggak mau, ah! Menanti kok di bawah pohon kamboja! Kalau pergi duluan, ya tunggulah di pintu gerbang surga!" dalihku mantap.
"Hehe ... mengapa di kuburan kok selalu ditanami kamboja?" tanyanya mengalihkan topik bahasan.
Aku hanya menggeleng.
"Pohon ini bisa menyesuaikan tempat dan dapat tumbuh subur. Selain itu, tidak membuat semak serta bunganya bisa menjadi hiasan cantik. Warnanya pun ada yang putih, kuning, dan pink!" urainya.
"Oh, kukira guguran bunganya bisa menjadi bunga tabur!"
"Bisa juga, sih."
Tiba-tiba ketika agak reda dicarinya guguran kuntum kamboja bermahkota genap dan diselipkan di tepi daun telingaku. Biasa bermahkota lima, tetapi dicarinya yang genap. Ditatanya kuntum itu dengan hati-hati sebagai hiasan rambutku.