Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Lika-liku ART Saya, dari ABG hingga Lansia

22 November 2021   16:53 Diperbarui: 26 November 2021   01:58 1200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi asisten rumah tangga. Sumber: Thinkstock/Choreograph via Kompas.com

Usia pernikahan saya baru 17 tahun pada April lalu. Selama berumah tangga itu, entah sudah berapa kali saya berganti-ganti asisten rumah tangga (ART). Kalau dihitung mungkin sudah lebih dari 10 ART.

Ada yang hanya 3 bulan, ada yang 6 bulan, ada yang 1 tahun, dan paling lama 10 tahun. Ada yang hanya 1 ART, ada juga yang 2 ART.

Rentang usianya juga bermacam-macam.
Ada yang masih anak-anak umur 14, remaja, dewasa, ibu rumah tangga, bahkan ada yang berusia lansia!

Tempat tinggalnya pun berbeda-beda. Ada yang dari Bogor, Jawa, Serpong, ada juga yang sekitaran Citayam dan Depok, Jawa Barat. 

Saya butuh ART karena anak saya masih kecil-kecil, sementara saya dan suami bekerja.  Tapi saya lebih menekankan untuk fokus pada anak saya saja.

Meski begitu, saya tidak terlalu mempercayakan ART begitu saja. Jadi, saya minta tolong ibu saya untuk mengawasi. Biar saya tenang saat bekerja. Tidak mengkhawatirkan anak-anak bagaimana-bagaimana.

Jam kerja ART yang menginap dari jam 7 pagi sampai menjelang maghrib. Jadi, kalau suami dan anak-anak butuh sesuatu ya saya yang melayani. Saya tidak ingin mengganggu jam istirahatnya.

Kebutuhan sehari-harinya juga saya penuhi. Termasuk biaya berobat ke klinik jika sakit.

Sementara ART yang tidak menginap, jam kerjanya dari jam 7 pagi sampai Ashar. Atau setidaknya saya atau suami sudah sampai di rumah. 

Jika, saya atau suami belum pulang juga sampai jam 5 sore, saya sering minta tolong ibu atau ayah atau abang saya untuk menjaga anak-anak saya.

Saya bersyukur jam kerja saya tidak harus jam kantoran. Karena saya pekerja lapangan, saya tidak harus jam 7 pagi sampai di kantor. 

Membuat laporan juga tidak harus di kantor. Setiap laporan yang masuk sudah dianggap hadir. Tidak perlu lagi tanda tangan kehadiran.

Jadi, saya masih leluasa mengurus anak-anak saya, baru berangkat. Kecuali jika ada jadwal piket pagi. Biasanya saya minta hari Sabtu.  Suami biasanya sangat jarang ada kerjaan, jadi ada yang mengawasi anak-anak.

Saya mendapatkan para ART ini ya dari mulut ke mulut ART di kompleks rumah, ada yang datang sendiri, ada juga dari abang sayur yang biasa mangkal di kompleks rumah.

"Bang, kapan mudik?" tanya saya ketika berbelanja.

"Mungkin seminggu lagi," jawabnya.

"Kira-kira ada nggak yang mau bantu-bantu saya, nggak Bang?" tanya saya. 

"Oh, iya Bu, nanti saya cari ya, kayaknya sih ada yang mau kerja," katanya.

Kalau mendatangkan dari Jawa berarti konsekuensinya, saya harus mengongkosi si abang sayur dan si mbak yang didatangkan. Begitu pula ketika tiba-tiba si mbak pulang kampung. 

ART dari Jawa, ada beberapa, dan rata-rata tidak lama. Lebih karena mereka menikah. Janjinya sih mau balik lagi. Ditunggu seminggu eh tidak datang-datang juga. 

Setelah ditelepon, katanya dilarang suaminya. Entah alasan yang mengada-ada, entah memang demikian adanya. Ya, sudahlah. Mau bagaimana lagi? 

Kalau ART yang usianya 14 tahun, itu cuma beberapa hari saja. Saya tidak tega saja anak usia segitu bekerja. 

Nanti saya dituduh mempekerjakan anak-anak. Mengeksploitasi anak. Bisa-bisa saya dijerat UU Perlindungan Anak. Kan berabe. 

Waktu saya masih punya anak satu, saya punya ART. Tinggalnya di Ciawi, Bogor. Masih remaja. Namanya, Amelia. Rambutnya panjang. Orangnya manis. Tapi kerjanya telepon mulu. Katanya sih dari pacarnya.

Sedang menyapu, sambil telepon. Tengah mencuci piring, sambil telepon juga. Ketika menyeterika, sambil telepon juga, sampai mau tidur, masih teleponan juga. Terkadang sampai tengah malam.

Kadang kalau malam Minggu pacarnya beberapa kali datang. Ya, memang tidak di rumah saya sih, tapi di pinggir jalan. Tetap saja menganggu. Saya sendiri belum pernah sekalipun bertatap wajah dengan pacarnya.

Saya sampaikan, terima telepon boleh, tapi lihat waktu. Apalagi yang telepon pacar, bukan orangtua. Itu namanya sama saja dengan mengganggu orang yang sedang bekerja. 

"Bilang dong ke pacarnya, saya lagi kerja gitu, nanti telepon lagi kalau kerjaan udah beres," kata saya. 

Tapi, besoknya begitu lagi, begitu lagi. Syukurlah, dia hanya 6 bulan saja hehehe... Katanya sih dilarang sama pacarnya. Gubrak!

Ada lagi ART yang usianya 20 tahunan. Tingkahnya juga bikin dahi berkerut. Saya sudah sampaikan kalau mandi di kamar mandi belakang saja, jangan di kamar mandi depan yang dekat ruang tamu. 

Eh, tetap mandi di kamar mandi depan. Sudah itu, bukannya pakai baju lengkap di kamar mandi. Ini tidak. Pakai baju tapi bawahnya handukan. Seperti ini di rumahnya saja. 

Saya belikan samphoo, sabun mandi, dan odol yang sama dengan biasa saya pakai, eh dia tidak mau. Mereknya beda, katanya. Ok, tidak masalah. Jadi, saya kasih uang buat beli kebutuhannya, termasuk pembalut. 

Orangnya juga suka dandan. Beda deh pokoknya dengan saya hehehe... Dia juga suka menghabiskan buah-buahan yang saya beli khusus buat anak saya. Kalau hanya 1 buah sih tidak apa-apa. Ini sampai tidak bersisa.

ART lainnya ada yang bangunnya siang mulu. Saya saja bangun sebelum adzan subuh. Sampai saya selesai shalat subuh belum bangun-bangun juga. Saya selesai urusan di dapur, belum bangun juga. 

Ada juga ART yang saya duga sempat ambil uang saya. Tidak banyak sih, "cuma" Rp100.000. Persoalannya, duit itu masih ada ketika saya pulang kerja. Sudah saya cari-cari, di bawah meja tidak ada.

Saat saya tanya katanya tidak tahu, tapi matanya sambil melirik ke anaknya yang masih SMP. Anaknya yang perempuan memang saya ijinkan tinggal di sini. Saya juga ijinkan jika ada kawan sekolah anaknya ke rumah, entah untuk main atau belajar.

Ya, sudah. Saya orang kalau kehilangan sesuatu ya tidak dipikirkan banget. Kalau hilang, ya sudah. Namanya bukan rejeki. Kalau itu rejeki saya, pasti akan kembali kepada saya. Saya pun ke kamar.

"Bund, Bund, uangnya ketemu nih," panggilnya.

"Ketemu di mana?" tanya saya seraya ke luar kamar.

"Itu di kolong meja," katanya sambil menunjuk ke kolong meja.

Saya heran dong. Saya sudah berkali-kali mencari di kolong meja tidak ada, kok tiba-tiba jadi ada? Aneh, kan. Tapi, ya sudahlah.

Ada juga yang usia lansia. Usianya 75 tahun. Saya cek KTP-nya, iya. Rambutnya yang panjang memutih semua. Tinggal di Bogor. Setiap Sabtu dia pulang, Senin masuk lagi menggunakan transportasi kereta listrik.

Entah bagaimana ceritanya si Mbah bisa "melamar" kerja di rumah saya. Memang waktu itu, saya sedang membutuhkan ART yang fokus untuk menjaga anak kedua saya, yang masih bayi.

Cuti melahirkan saya yang 3 bulan, sudah habis. Itu berarti, saya harus siap-siap kembali bekerja. Nah, siapa yang menjaga dan mengawasi anak saya? 

Tidak mungkin juga kan saya minta tolong ibu saya, secara anak pertama sudah dalam pengawasan ibu saya. Masa harus ngurusi bayi juga? 

Suatu ketika datanglah si Mbah ke rumah. Ia mengutarakan maksud dan tujuannya. Apa tidak salah seorang ibu berusia lansia mencari pekerjaan?

 "Maaf, Ibu, memang Ibu masih kuat gendong-gendong bayi?" tanya saya.

"Masih, masih kuat. Saya biasa urusi cucu saya," katanya. 

"Kok, Ibu masih cari kerjaan, memangnya anak-anak Ibu di mana?" tanya saya.

Ya, sebagai anak ya miris, ada orang sepuh masih cari-cari pekerjaan.

"Ada sih, tapi nggak enak juga, kalau numpang," katanya.

"Lha kok nggak enak? Kan Ibu bantu jaga cucu-cucu Ibu?" kata saya.

Meski agak ragu, akhirnya saya menerima juga. Saya tekankan, tugasnya fokus jaga si bayi. Urusan rumah dan masak, biar saya saja. 

Tapi, si Mbah hanya beberapa bulan saja. Mungkin karena jauh atau memang sudah merasa dirinya tidak kuat. Saya lupa alasan pastinya. 

Ketika anak-anak masih usia balita, saya mempekerjakan 2 ART. Untuk urusan masak, biasanya saya. Jadi, sebelum berangkat kerja, saya masak dulu. Masak untuk anak-anak saya dan buat semua.

Dapatlah 2 ART yang saling bertetangga. Mereka sudah saling berbagi tugas. Sayang, 1 ART ke Aceh mengikuti suaminya yang bekerja jadi buruh. Katanya, sih mau balik lagi. Tapi sampai berminggu-minggu tidak ada kabarnya.

Lalu ada penggantinya. Cuma mereka tidak saling klik. Ada saja yang menjadi perselisihan di antara mereka. Akhirnya, saya putuskan 1 saja karena ART yang satu lagi merokok. Saya sering pergoki dia merokok. 

Ini bukan masalah haknya dia merokok, tapi kan anak-anak saya juga berhak untuk terbebas dari asap rokok. Apalagi masih balita. Jadi, udara harus terjaga. Minimal di lingkungan rumah sendiri.

"Mbak, sekarang saya tanya, enaknya mau kerja sendirian atau ada teman?" kata saya.

"Sendiri aja, Bund. Enakan sendiri. Kalo berdua suka nggak bener," katanya.

"Mbak sanggup kerja sendirian?" tanya saya memastikan, yang dijawab "sanggup".

"Karena Mbak kerjanya sendirian, jadi gaji mbak saya tambahin ya," kata saya.

Alhamdulillah, sudah 10 tahun dia bekerja di saya. Si Mbak ini adalah yang paling lama dan rekor dibanding ART-ART yang lain. Sudah saya anggap keluarga juga.

Sayang, pas lebaran Idul Fitri kemarin, dia berhenti bekerja. Alasannya, mulai sering sakit-sakitan. Jadi, tidak enak hati kalau sering tidak masuk.

"Nggak apa-apa Mbak, saya dan bapak juga lebih banyak bekerja di rumah. Anak-anak juga belajar online. Jadi, masih bisa dihandle sama saya. Tenang aja," kata saya.

Saya rayu dengan menaikkan gajinya, si Mbak tetap tidak bergeming. Si kecil yang mendengar ini, menangis sedih. Bisa dimaklumi, dari anak saya bayi sampai berusia 10 tahun, ya dijaga sama si Mbak. 

Sekarang ada si Mbak yang baru beberapa bulan bekerja.

Ya, begitulah lika liku para ART saya, yang hanya sebagian kecil saja yang saya ceritakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun