Mohon tunggu...
Nenden Nur Amalia
Nenden Nur Amalia Mohon Tunggu... Mahasasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercubuana -Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Nenden Nur Amalia NIM 55524110004 Univeritas Mercubuana Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si. Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Manajemen Pajak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Wacana Kritis Ilmu Transfer Pricing (Dosen Pengampu Prof. Dr. Apollo M.Si Ak.)-NIM 55524110004

27 Juni 2025   10:07 Diperbarui: 27 Juni 2025   10:07 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

VII. Kritik TP: Hermeneutika Dilthey dan The Human Condition Arendt

Untuk kritik yang lebih mendalam terhadap TP, pemikiran Wilhelm Dilthey dan Hannah Arendt memberikan perspektif kritis yang krusial.

1. Hermeneutika Dilthey: Menjelaskan (Erklren) vs. Memahami (Verstehen) TP Dilthey membedakan antara ilmu alam (Naturwissenschaften) yang berupaya menjelaskan fenomena melalui hukum kausal (Erklren) dan ilmu humaniora (Geisteswissenschaften) yang bertujuan memahami makna pengalaman manusia (Verstehen).

a. TP sebagai "Menjelaskan" (Erklren): Pendekatan ini melihat TP sebagai objek yang dapat dianalisis secara objektif melalui data, logika, dan hubungan sebab-akibat, menggunakan metode kuantitatif dan model ekonometrika. Fokusnya adalah pada penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (ALP) secara teknis. Jika harga transfer menyimpang dari ALP, laba dan pajak akan terdistorsi, sehingga perlu penyesuaian. Ini adalah upaya untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana TP bekerja secara mekanistik .

b. TP sebagai "Memahami" (Verstehen): Pendekatan ini melihat TP sebagai tindakan manusiawi yang bermakna, dipengaruhi oleh niat, nilai, konteks budaya, sejarah, dan relasi kuasa. Fokusnya adalah pada interpretasi dokumen TP, konteks ekonomi yang lebih luas, dan motif di balik keputusan TP perusahaan serta respons negara. Ini berupaya memahami mengapa suatu praktik TP dilakukan, tidak hanya dari segi efisiensi bisnis, tetapi juga sebagai strategi perusahaan dalam menghadapi tekanan fiskal global dan ketidakseimbangan kekuasaan antar negara. Mengabaikan dimensi "memahami" dapat membuat TP dipandang netral secara moral, mengaburkan potensi ketidakadilan struktural yang dihasilkannya . Menggabungkan kedua pendekatan ini memungkinkan pemahaman yang lebih komprehensif dan berlandaskan pada dimensi manusiawi.

2. Kritik TP dari Perspektif Hannah Arendt: The Human Condition (Labor, Work, Action) Hannah Arendt dalam karyanya The Human Condition menguraikan tiga aktivitas fundamental yang membentuk kehidupan aktif (vita activa) manusia: Labor, Work, dan Action. Kritik terhadap TP melalui lensa Arendt menyoroti implikasi etis dan politik dari praktik ini, terutama ketika digunakan untuk penghindaran pajak.

a. Reduksi Manusia ke Labor: Arendt mendefinisikan Labor sebagai aktivitas biologis yang berulang untuk mempertahankan hidup, tidak menghasilkan sesuatu yang abadi atau membangun dunia bersama. TP yang agresif dapat mengalihkan laba dari negara tempat labor (pekerja) berada, mengurangi basis pajak yang seharusnya digunakan untuk layanan publik (kesehatan, pendidikan, infrastruktur). Ini berpotensi mereduksi pekerja menjadi sekadar "tenaga kerja" yang berfungsi untuk produksi, tanpa mendapatkan manfaat yang setimpal dari kontribusi mereka terhadap nilai ekonomi. Arendt mengkhawatirkan dehumanisasi ini, di mana manusia menjadi animal laborans yang teralienasi dari dunia publik yang bermakna .

b. Distorsi pada Work: Work bagi Arendt adalah aktivitas menciptakan benda-benda buatan manusia yang memiliki durabilitas dan membentuk "dunia" kita (misalnya, bangunan, karya seni, atau sistem ekonomi). TP, sebagai hasil dari rekayasa sistem keuangan global, seharusnya membangun struktur yang adil dan berkelanjutan. Namun, praktik TP yang tidak etis justru dapat merusak "dunia bersama" dengan menciptakan struktur ekonomi yang timpang, di mana keuntungan dialokasikan secara artifisial, mengikis dasar bagi pembangunan sosial-ekonomi di negara-negara yang dirugikan. Ini adalah work yang, alih-alih melayani kemanusiaan secara luas, malah melayani kepentingan privat dan eksklusif korporasi .

c. Ketiadaan Action: Action adalah aktivitas tertinggi dalam vita activa, terjadi di antara manusia dalam ruang publik, di mana individu mengungkapkan "siapa" mereka melalui ucapan dan tindakan yang orisinal. Action adalah arena kebebasan, inisiasi hal baru, dan pembentukan dunia politik. TP, sebagai praktik yang sering dilakukan secara rahasia dan di balik pintu tertutup, adalah kebalikan dari Action Arendtian. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam TP menghilangkan ruang untuk action publik, meniadakan dialog terbuka tentang pembagian laba global, dan mengurangi kapasitas warga untuk bertindak sebagai subjek politik. Arendt berargumen bahwa kondisi ini dapat mengarah pada "banality of evil"---kejahatan struktural yang terjadi tanpa niat jahat eksplisit, hanya karena ketaatan pada sistem---dan pada akhirnya merusak zoon politikon (manusia sebagai makhluk politik) .

d. Dominasi Ruang Privat atas Ruang Publik: Arendt membedakan ruang privat (tempat kebutuhan dan kekuasaan tersembunyi) dan ruang publik (tempat politik, kebebasan, dan akuntabilitas). TP yang agresif mengeksploitasi ruang privat untuk menghindari kontribusi kepada ruang publik (pajak adalah bentuk kontribusi kolektif). Ini merupakan bentuk depolitisasi ekonomi yang menghapus ruang dialog dan keadilan distributif, mengancam fondasi hidup bersama sebagai warga dunia.

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun