Heidegger juga membedakan antara Zuhandenheit (kesiap-sediaan atau readiness-to-hand) dan Vorhandenheit (sikap-di-hadapan atau present-at-hand). Zuhandenheit menggambarkan bagaimana alat atau instrumen digunakan secara praktis dan menyatu dengan aktivitas sehingga keberadaannya tidak disadari secara terpisah. TP, dalam konteksi ini, beroperasi sebagai mekanisme "kesiap-sediaan" (Zuhandenheit) yang tersembunyi dalam operasional bisnis sehari-hari, memfasilitasi pergeseran nilai dan laba secara efisien. Keberadaannya baru disadari dan menjadi objek perhatian (Vorhandenheit) ketika terjadi "kerusakan" atau masalah, seperti saat audit pajak yang menyingkap penyimpangan atau ketimpangan yang dihasilkan oleh praktik TP.
c. Penguasaan atas "Ada" (Sein): Dalam kerangka Heidegger, "Ada" (Sein) mengacu pada hakikat keberadaan itu sendiri. TP menjadi sarana bagi perusahaan untuk secara aktif menyusun dan merekonstruksi realitas hukum dan ekonomi mereka. Melalui manipulasi harga internal, TP menciptakan "realitas buatan" yang melampaui rekayasa akuntansi semata, menjadi rekayasa eksistensial terhadap makna laba, nilai, dan kewajiban. Ini adalah cara perusahaan memproyeksikan dan mengklaim "Ada" mereka dalam domain finansial dan legal, membentuk citra tentang bagaimana nilai diciptakan dan didistribusikan.
d. Ontologi Kekuasaan (Kritik Foucault): Pemikiran ontologis Heideggerian juga dapat dikaitkan dengan kritik Michel Foucault terhadap kekuasaan. Dalam konteks TP, praktik ini mencerminkan distribusi "kekuasaan epistemik", di mana perusahaan multinasional memiliki kapasitas untuk menyembunyikan atau membentuk struktur realitas ekonomi mereka. Regulasi pajak internasional, dalam pandangan ini, tidak hanya sekadar mengatur praktik, tetapi juga aktif menciptakan "rezim kebenaran" yang mendefinisikan apa yang dianggap sah atau tidak sah dalam transaksi ekonomi global. Ini menunjukkan bahwa pengetahuan (seperti aturan TP) dan kekuasaan saling terkait dalam membentuk realitas.
II. Epistemologi Transfer Pricing: Sumber dan Validitas Pengetahuan TP
Epistemologi membahas bagaimana pengetahuan tentang TP diperoleh dan divalidasi. Pertanyaan kuncinya adalah: "Bagaimana kita mengetahui atau mempelajari Transfer Pricing?". Pengetahuan tentang TP bersumber dari literatur ekonomi, standar akuntansi internasional (IAS/IFRS), Pedoman Transfer Pricing OECD, peraturan perpajakan nasional (misalnya, Peraturan Dirjen Pajak di Indonesia), serta berbagai kasus hukum dan praktik audit.
Metodologi yang digunakan dalam TP bersifat multidisipliner, mencakup analisis kuantitatif (misalnya, analisis perbandingan data pasar), analisis kualitatif (analisis fungsi dan risiko), serta kewajiban dokumentasi (Master File, Local File, dan Country-by-Country Report/CbCR). Kriteria kebenaran utama dalam TP adalah Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP), yang mensyaratkan bahwa transaksi antar pihak terafiliasi harus dilakukan seolah-olah terjadi antara pihak independen. Validitas pengetahuan TP dinilai berdasarkan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip internasional dan peraturan domestik yang berlaku.
III. Aksiologi Transfer Pricing: Tujuan, Nilai, dan Implikasi Etis
Aksiologi mengkaji tujuan, nilai, dan dampak etis dari pengetahuan dan praktik TP. Pertanyaan intinya: "Untuk apa Transfer Pricing digunakan, dan nilai apa yang terkandung di dalamnya?". Tujuan normatif TP adalah memastikan pembagian laba antar entitas dalam satu grup dilakukan secara adil, sesuai dengan kontribusi ekonomi riil masing-masing unit.
Dari sisi nilai, TP memiliki potensi positif dan negatif. Positifnya, TP dapat meningkatkan efisiensi manajerial internal dan membantu kepatuhan pajak lintas negara. Negatifnya, TP berpotensi dimanipulasi untuk tujuan penghindaran pajak yang agresif (tax avoidance). Implikasi etisnya sangat signifikan, karena TP harus mempertimbangkan keadilan fiskal antar negara dan tidak hanya menjadi alat untuk meminimalkan beban pajak korporasi. Oleh karena itu, dalam kerangka aksiologi, TP tidak hanya dipandang sebagai alat teknis-keuangan, tetapi juga sebagai praktik yang harus berlandaskan pada prinsip keadilan, etika bisnis, dan tanggung jawab sosial korporasi.
IV. Perbandingan Perspektif: Indonesia dan OECD dalam Isu TP
Perbedaan mendasar dalam ontologi, epistemologi, dan aksiologi TP dapat diamati melalui perbandingan perspektif antara Indonesia dan OECD: