Mohon tunggu...
Naomi Nur
Naomi Nur Mohon Tunggu... Mahasiswa

Seorang yang menyukai fantasi dan berkarya dalam tulisan, berbagai jenis tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Roman

Your Brain in Love: STT Satyabhakti

3 September 2025   10:31 Diperbarui: 3 September 2025   10:31 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber dokumen: STT Satyabhakti, Malang.

Seminar "Your Brain in Love" menghadirkan pengalaman yang tidak biasa bagi mahasiswa STT Satyabhakti. Dibuka dengan pujian dan doa, suasana seminar segera bergeser dari sekadar ruang akademis menjadi ruang perjumpaan antara psikologi, neurosains, dan firman Tuhan.

Pdt. Posuka Loke sebagai narasumber menegaskan sejak awal: "Cinta bukan hanya emosi, tetapi sebuah sistem motivasi yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan tindakan kita." Dengan bahasa yang lugas, beliau menjembatani ilmu otak modern dan kebenaran Alkitab sehingga mahasiswa bisa melihat bahwa kasih bukan sekadar perasaan yang fana, melainkan komitmen yang perlu dikelola dengan hikmat.

Dari Dopamin hingga Neuroplastisitas

Pdt. Posuka memaparkan bagaimana otak bekerja ketika seseorang jatuh cinta. Dopamin memberi rasa euforia, fokus, sekaligus risiko adiksi. Oksitosin dan vasopressin menumbuhkan rasa percaya dan keterikatan, sementara serotonin yang ditekan di awal hubungan sering menjelaskan mengapa orang cenderung obsesif pada pasangannya. Namun, setelah lebih dari dua tahun, serotonin kembali normal dan logika mengambil alih.

Proses biologis ini disandingkan dengan prinsip Alkitab: cinta sejati adalah komitmen (1 Kor. 13:4,7), melibatkan seluruh aspek manusia tubuh, jiwa, roh (Mrk. 12:30), dan selalu menjaga kesucian (1 Tes. 4:3). Bahkan, konsep pembaruan budi (Rm. 12:2) ternyata sejalan dengan temuan neurosains tentang neuroplastisitas: otak bisa berubah sesuai pola yang kita latih setiap hari.

Refleksi dari Pertanyaan Mahasiswa

Sesi tanya jawab membuka pergumulan nyata yang banyak anak muda hadapi:

  • Tentang restu orang tua.
    Seorang mahasiswa bertanya bagaimana menghadapi cinta yang tidak direstui. Jawaban Pdt. Posuka sederhana tapi dalam: berdoa, berjuang, buktikan kesungguhan. Cinta bukan jalan pintas.

  • Tentang cinta yang berkhianat.
    Kevin mengangkat dilema antara love dan wisdom. Apakah tetap mengasihi berarti harus bertahan meski diselingkuhi? Jawabannya: kasih memang sabar, tetapi harus ada batasan. Mengampuni tidak sama dengan membiarkan diri terus disakiti.

  • Tentang luka lama.
    Herlin bertanya apakah pasangan bisa menyembuhkan luka satu sama lain. Jawaban jujur muncul: jangan berharap pasangan jadi penyembuh, karena pemulihan sejati haruslah di dalam Kristus.

  • Tentang budaya pacaran.
    Joshua menegaskan keresahan: seakan wajib punya pacar di usia muda. Padahal, pacaran tidak wajib. Yang penting adalah kesiapan emosional dan spiritual untuk growing together.

Di sinilah refleksi tajam muncul: betapa sering anak muda salah melangkah karena tidak punya self-awareness, kesadaran diri untuk mengenali emosi, trauma, dan kebutuhan yang sebenarnya.

Dari Adiksi hingga Perceraian

Pdt. Posuka mengungkap contoh yang mengejutkan: adiksi pornografi bukan sekadar soal seks, melainkan pola otak yang terbentuk dari emosi yang tak terpuaskan sejak kecil. Begitu pula dengan adiksi belanja atau game semua bermuara pada kebutuhan emosional yang tidak tertangani.

Jika kebutuhan itu dibawa ke dalam relasi tanpa kesadaran diri, cinta bisa berubah jadi racun. Dari pacaran yang salah arah, ke pernikahan yang toxic, hingga akhirnya perceraian.

"Banyak orang jatuh bukan karena mereka tidak tahu kebenaran, tapi karena mereka tidak melatih diri untuk sadar apa yang sebenarnya mereka rasakan, apa yang sebenarnya mereka butuhkan," jelasnya.

Self-Awareness

Di era visual saat ini, godaan hanya sejauh sentuhan layar. Tanpa self-awareness, manusia muda mudah sekali terseret ke dalam pola yang salah. Kesadaran diri menjadi pintu awal untuk mengenali pola emosi, melatih disiplin rohani, dan membuka diri pada konseling bila perlu. Disiplin rohani, doa, membaca firman, akuntabilitas adalah cara untuk "memberi makan" sisi sehat dalam diri kita. Pola yang kita latih itulah yang akan menjadi dominan. Realitas hari ini memperlihatkan bahwa cinta mudah tergelincir. Dunia serba visual membuat hubungan rapuh, penuh penyesalan, bahkan tidak jarang berakhir pada perceraian.

Kasih Kristus memberi arah di tengah situasi ini. Ia mengajarkan kasih yang sabar sekaligus bijak, murah hati tetapi tidak tanpa batas. Relasi yang berakar dalam Kristus bukan sekadar perjalanan emosional, melainkan komitmen yang sehat, bertanggung jawab, dan bertumbuh. Seperti ditegaskan Pdt. Posuka: "Kasih sejati bukan berarti bebas tanpa batas, melainkan kasih yang bertanggung jawab dan berpusat pada Kristus."

Seminar ini menegaskan satu hal penting: cinta itu kompleks ada aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Namun di atas semuanya, cinta hanya akan menemukan maknanya jika berakar dalam Kristus. Self-awareness bukan sekadar teori psikologi, melainkan fondasi rohani untuk mengelola emosi, membuat keputusan bijak, dan membangun relasi yang sehat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun