"Kamu harus kuat! Kamu harus lihat anak kita jadi sarjana, kamu harus lihat anak kita jadi pengantin, kamu harus gendong cucu kita yang lucu," ucapnya sambil menangis keras.
Terbayang jika suaminya yang sayang kepada anak dan istrinya gugur tinggalkan keluarga yang bahagia.
Apakah pasti hari esok menjadi lebih baik?
Apakah pasti ada pengganti yang lebih baik?
Apakah? Apakah? Apakah?
"Ibu, Maaf. Mari mohon ikut saya. Biar bapak cepat sembuh. Semoga ya bu," suara lembut seorang suster membujuk seorang istri yang sedang kritis harapan agar bisa melepaskan pelukan sayang dari suaminya yang juga sedang kritis hidup.
Dengan di papah oleh dua suster, perempuan itu di dudukan pada kursi kayu putih di lorong depan ruang gawat darurat.
Setelah menghapus air matanya perempuan itu mengambil foto usang dari dompetnya yang lapuk. Foto berdua saat menjadi pengantin baru. Sang suami memakai jas juga celana panjang bahan putih, sang istri berbusana kebaya putih dan bersarung batik bergambar bunga. Dengan perhiasan di kepala rambut konde dan hiasan mirip bintang berwarna emas.
Perempuan itu ingat saksi  yang hadir mengucapkan kata sah, tanda mereka resmi menjadi suami istri. Perempuan itu adalah saksi hidup tentang perjuangan sang suami untuk memberikan perlindungan kepada keluarga yang mereka impikan bersama. Saat berusaha mengemis agar ada uang hasil pinjamam ke sana dan ke mari.
Ada rasa bahagia selama tiga tahun kerja serabutan supaya ada uang tabungan di rumah, sang suami mendapat pekerjaan baru, walau tidak sesuai dengan pengalaman kerja lama dan gelar sarjananya. Namun sang suami bahagia karena mendapat pekerjaan tetap biar di gaji kecil. Baru dua bulan sang suami bekerja di perusahaan tersebut. Harapan sang suami  agar tidak ada lagi pemecatan karyawan.
PHK memang kejam!