Mohon tunggu...
NB
NB Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Sedang doyan berfikir aneh

Berkhayal indah memang enak dan jadi pemenang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Rasa Derita Rakyat

5 Oktober 2019   20:16 Diperbarui: 5 Oktober 2019   20:44 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kabar dari internet, info dari televisi nasional, berita dari radio lokal dan tulisan dari koran kertas mengatakan tentang situasi politik di negara ini. Rasanya mirip minum kopi oplos.

Ada rasa kopi pahit, ada rasa susu putih, ada rasa gula, ada rasa coklat, rasa jahe,  pisang goreng dan tembakau bakar. Kopi apa ya?

Ya kopi biasa yang di jual di warung, tapi pisang goreng dan rokok di jual terpisah. Namun semuanya di olah  di dalam mulut. Coba deh pasti ketagihan. Mungkin esok hari  biar tambah enak minum kopi campur zat terlarang. Walah!

Nah itu rasa kopi, biar pahit namun tetap enak. Bahkan dengan minum kopi bisa membuat badan segar dan menghambat proses otak pikun, kata sumber di warung kopi.

Percaya nggak percaya sih, sebab penulis setelah minum kopi bisa ngantuk karena otak jadi santai. Eh, terus apa hubungannya dengan dunia politik?

Kata orang pintar sedikit bahwa politik itu kejam. Politik adalah tindakkan menghalalkan segala cara. Semua usaha di lakukan yang penting menang.

Biaya operasional politik pasti tidak murah. Nah kalau begini butuh dukungan dana yang besar. Cari di mana?

Terus kalau sudah dapat ongkos gede lalu itu lomba pemilihan pasti menang?

Kalau menang sih bagus, kalau nggak menang bagaimana?

Masih waras sih hebat tapi kalau jadi sinting?

Pilihan terakhir pindah ke dunia lain pakai tali  plastik. Nah itulah rasa pahit yang nyata. Tapi jangan panik. Dari negara ini lahir banyak manusia Indonesia punya mimpi bertugas di dunia politik. Alasannya?

Alasan yang enak di dengar adalah ingin memberikan yang terbaik bagi nusa dan bangsa, ceile. Namun ada ucapan tersembunyi di otak bahwa menjadi politisi bisa hidup enak. Jreng!!!

Kok bisa?

Buktinya dari jaman sebelum ada internet sampai ada internet di telepon genggam banyak warga plus enam dua yang mendaftar jadi wakil rakyat. Kemudian dapat fasilitas seperti rumah, mobil, dan sesuatu dari  negara. Asyik dong. Mari berpikir, apakah enak hidup susah?

Semuanya bisa berasal dari diskusi campur minum kopi. Hal sederhana jadi mewah. Di sana ada cerita.

"Halo bro," sapa Brondong.

"Salam bro," jawab Brojol.

Mereka bersalaman lalu berjalan menuju meja yang sudah di pesan. Letaknya di dekat dengan jendela gedung sehingga mereka berdua bisa melihat ke arah jalan raya Gatot Subroto, Jakarta.

"Cantik, tolong kopi susu ya," pinta Brondong ke pelayan berparas aduhai.

"Saya kopi hitam manis campur jahe, thanks," Brojol pesan rasa kopi yang tak biasa ke pelayan yang sama.

"Menurut anda, rancangan undang-undang ini pantas di jadikan undang-undang?" tanya Brondong saat duduk di kursi empuk, wajahnya terlihat serius.

"Saya sih setuju bahwa rancangan undang-undang ini harus jadi undang-undang yang sah," sambung Brojol serius pula.

"Tapi apakah rakyat membutuhkan peraturan seperti ini?"

"Ya bisa saja. Sebab peraturan atau rancangan undang-undang yang saat ini kita bicarakan pasti terpakai suatu saat nanti," jawab Brojol optimis.

"Tapikan saat ini rakyat belum butuh undang-undang baru. Rakyat merasa nyaman dengan undang-undang lama."

"Iya betul. Makanya saya katakan suatu saat nanti pasti terpakai."

"Lalu kenapa elu Bro, ngebet banget bahwa rancangan undang-undang ini harus sah menjadi undang-undang?" nah mulai akrab.

"Begini bro. Minimal, rakyat berfikir bahwa kita masih bisa menghasilkan hal yang positif, bukan di kenal sebagai politisi duduk, diam, dengar, duit."

Mendengar alasan Brojol, Brondong mulai tersenyum walau sedikit.

"Tapi di jalanan sudah mulai ada gerakkan menentang rancangan undang-undangan yang saat ini kita buat."

Brondong masih gelisah. Sebatang rokok impor di hisap sekuatnya. Lalu di hembus pelan, sehingga asap yang keluar dari hidung terlihat sedikit.

Duduk di restoran mahal dengan menu harga selangit dan tempat duduk empuk ternyata belum bisa menghilangkan rasa galau di kepala Brondong, namun Brojol terlihat santai.

"Elu kenapa sih Bro terlihat bahagia? Padahal gerakkan rakyat anti rancangan undang-undang ini hampir terjadi seluruh wilayah di negara ini."

"Bung Brondong, andakan pernah sekolah tinggi di luar negeri dan kampus itu terkenal namanya di dunia sebagai universitas yang banyak menghasilkan lulusan hebat. Berarti anda bung Brondong alumni dari sana, pun juga punya gelar strata satu sampai gelar profesor. Hebat dong," puji Brojol

"Maksudnya apa?" Brondong tersanjung.

"Sedikit aneh boleh tolol banyak jangan," ejek Brojol.

"Kunyuk lu," celoteh Brondong sedikit tersenyum.

"Selow Bro. Nasib lu beda dengan nasib gue," Brojol bertingkah lucu.

       "Gue bisa kuliah sampai punya gelas sarjana, itu hal paling hebat di keluarga. Karena hanya gue yang di berikan kesempatan untuk kuliah. Yang lain, abang dan adik gue cuma jadi buruh pabrik kontrak."

       "Sampai sekarang nasib mereka luntang lantung nggak stabil. Tapi karena mereka rela mengalah agar gue bisa kuliah maka sekaranglah saatnya gue balas jasa ke mereka."

      "Setiap bulan mereka gue kasih jatah dua kali lipat dari gaji karyawan kantor. Nah dari mereka pula gue bisa gerakkan massa."

     "Wah hebat dong," Brondong kagum.

     "Makanya gue nggak kaget lihat demo rusuh seperti media massa."

     "Bro, elu pernah lakukan hal seperti itu?"

     "Elu lihat saja ke bawah. Ada lempar batu, ada lempar bom molotov, ada caci maki, ada kelompok pelajar dan buruh. Gue bisa atur kalau elu mau buat seperti itu."

     Brondong tersenyum sepertinya ada ide cermelang di otaknya.

    "Bro, elu kan berasal dari partai oposisi pemerintah pasti dapat untung dengan cara menjelekkan pemerintah."

   "Yaaa itu cara gue dan teman-teman agar mendapat dukungan politik dari rakyat yang tertindas rezim sekarang," Brojol membuka sedikit rahasia partainya.

   "Hal seperti ini menjadi tabungan politik yang hasilnya bisa di lihat saat pemilihan umum selanjutnya. Mungkin saja partai gue mampu menguasai kursi di gedung wakil rakyat dan kabinet presiden."

   Brondong mengangguk  tanda mengerti.

"Tapi kalian kompak. Beda dengan partai gue. Walaupun partai politik pendukung pemerintah tapi di dalam rebutan parkiran."

"Arti parkiran?" Brojol bingung mendengar istilah baru.

"Elu Bro mau bisnis ini dan gue juga mau bisnis seperti elu, nah bagaimana caranya agar gue bisa menguasai bisnis yang sama dengan punya lu," Brondong mulai memberi penjelasan.

"Caranya Bro?" Brojol mulai kepo. Giliran dia yang menghisap kuat cerutu asal negara Fiedel castro, Kuba. Harga sebatang cerutu negara komunis itu bisa membeli satu unit telepon genggam pintar kelas menengah. Itu baru beli sebatang, kalau beli dua belas batang bisa di tebak harga pastinya.

"Gue punya kekuatan agar elu nggak di kasih surat ijin usaha, karena yang buat surat ijin teman gue banget. Pasti nurut apa yang gue mau. Gitu Bro."

"Ooo," Brojol mulai jelas. Setelah menghisap cerutunya sesaat lalu dia komentar kembali.

"Setelah dengar cerita elu, ternyata kisah yang ada di pihak lu dan pihak gue nggak jauh beda. Di partai gue memang terlihat kompak, tapi di dalam kita sering beda tujuan. Saling sikut, siapa yang kuat dia yang menang."

"Ternyata kita sama," ucap Brondong merasa lega.

"Memang sama lalu kenapa kita tidak bergandengan tangan?"

"Iyaya benar juga. Kalau gitu elu bisa dong bantu gue?" Brondong setuju dengan pemikiran Brojol lalu menawarkan kerjasama.

"Apaan tuh?" suara Brojol terdengar bahagia.

"Ada dua batu besar di hadapan gue. Batu besar pertama ada di dalam partai ini dan batu besar ke dua ada di dalam kabinet presiden. Ke dua orang tersebut doyan daun muda dan anak-anak mereka doyan tepung surga. Gue mau elu kirim massa ke mereka agar bau bangkenya bisa di cium semua warga negara ini."

"Oke bisa gue atur. Terus Gue dapat apa?" Brojol minta jatah.

"Gue dukung lu jadi pimpinan partai, gue dukung lu jadi ketua fraksi, gue buat lu jadi pengawas proyek pemerintah dan beberapa perusahaan besar swasta. Oke?"

"Deal!" jawab Brojol terhadap janji Brondong. Suasana terasa sejuk.

Mendadak seorang pelayan cantik membawa dua cangkir kopi pesanan Brojol dan Brondong, juga dua lembar roti panggang dalam satu piring. Wuih enak banget. Brojol dan Brondong langsung meminum kopi pilihan terbaik.

"Wah kopinya sedap," ucap Brojol.

"Iyalah, harganya juga sedap," sambung Brondong. Mereka tertawa kemudian ada pertanyaan yang nakal di antara kader dua partai berbeda tujuan.

"Gue dengar ada isu miring tentang elu Bro,"  goda Brondong.

"Eh apaan tuh Bro," Muka Brojol mendadak serius.

"Kabarnya, elu punya hubungan tak biasa dengan kader cantik dari partai dua kaki. Karena beberapa anggotanya ada yang dukung dan ada yang anti pemerintah," muka Brondong pun jadi serius.

"Ooo si itu.  Bro, besok sore gue mau ke puncak sekalian bertemu dengan si itu. Nakal sedikitlah. Besok gue ada pesta kecil bareng dia. Elu ikut aja," giliran Brojol yang menggoda Brondong.

"Kalau cuma pesta biasa nggak asyik dong. Pesta luar biasa oke?"

"Sebenarnya pesta luar biasa. Si itu ada masalah besar yang harus segera di jawab. Pokoknya elu harus ikut, elu minta gaya apa pun, si itu mau ajah. Nanti ada menu asyik. Kita kan teman, bodo amat sama lain. Yang penting happy."

Berdua tertawa terbahak keras sampai memancing perhatian beberapa orang di dalam restoran.

Namun mereka mulai lagi bicara serius.

"Kasihan para pengunjuk rasa yang mati muda. Pengorbanan mereka terasa hambar. Orang yang mereka dukung tidak lagi ingat akan jasa-jasa almarhum karena terlalu sibuk dengan mimpi pribadi," Brondong sedih. Rasa sakit yang tiada obatnya.

"Gue perhatikan apakah ada anak-anak dari provokator elit yang kena tembak?" tanya Brojol dengan muka sinis.

Brojol dan Brondong kompak menggelengkan kepala masing-masing. Mereka kembali meminum kopi bersama roti panggang coklat keju  harga langit.

Tatapan mereka mengarah ke  jalan Gatot Subroto. Demonstran semakin liar. Lemparan batu, lemparan bom molotov semakin agresif. Asap gas air mata bertambah lebar. Beberapa polisi pria dengan helem dan tameng bergerak maju menghadang lalu mengusir gerak pengunjuk rasa.

Satu persatu demonstran di tangkap polisi lalu di bawa ke dalam truk untuk dipindahkan ke markas agar bisa mengumpulkan kisah yang tersembunyi.

Sebuah mobil ambulan berjalan menjauh dari kerumunan perusuh kemudian berhenti di rumah sakit terdekat. Seorang pria terlentang di kasur ambulan korban kerusuhan keluar dari mobil putih kemudian di pindahkan ke ruang gawat darurat.

Mulut dan hidungnya di tutup alat bantu pernapasan dari tabung oksigen. Tangan kanannya di tusuk jarum dengan pipa plastik kecil dari bungkus infus yang tergantung. Namun dada kirinya di tutup perban agar darah tidak keluar banyak.

Saat korban sudah di ruang gawat darurat napasnya masih ada karena alat detak jantung masih memberikan gambar tanda jantung masih berfungsi, namun ke dua kelopak matanya masih tertutup.

Detak jantungnya masih stabil.

Dua puluh menit setelah korban berada di ruang gawat darurat. Datanglah seorang perempuan berpakaian lusuh menjenguk korban. Perempuan tersebut ternyata istri dari korban peluru nyasar.

Dengan sikap pelan dan berhati-hati tangan perempuan itu mengusap rambut dan pipi suami pujaan anak dan istri. Dengan pelan dan hati terasa remuk air mata perempuan itu keluar.

Air mata perempuan itu semakin deras mengalir di pipinya yang tanpa polesan bedak kecantikan. Teringat olehnya tiga orang anak mereka yang masih kecil.

Anak pertama ada di kelas satu sekolah menengah pertama. Anak kedua ada di kelas empat sekolah dasar dan terakhir anak ketiga mereka berumur tiga tahun.

Pekerjaan suaminya adalah sebagai petugas kebersihan gedung. Sedangkan sang istri hanya sebagai pengasuh anak-anak karena waktu yang tersedia habis di dalam rumah.

Tubuh perempuan itu terkadang bergetar  menahan gejolak jiwa akibat musibah politik rekaan kaum berpendidikan tinggi. Perempuan itu berusaha menahan suara tangisnya agar keadaan di rumah sakit tidak berubah buruk karena tingkahnya.

Dalam tangisnya perempuan itu berkata di dalam hati.

Wahai pencipta manusia. Apakah engkau masih ada? Aku yakin engkau masih ada. Namun masihkah ada harapan untuk hambamu yang miskin agar doa menjadi kenyataan? Entahlah. Saat ini aku hanya bisa menangis melihat derita yang belum berkurang. Saat ini aku menangis menerima ujianmu yang semakin sulit untuk di selesaikan.

Wahai pencipta manusia. Apakah engkau masih bisa melihat? Aku yakin engkau tidak buta. Tapi apakah engkau bisa melihat derita hamba ini yang selalu taat menyembah kepada mu? Saat ini aku sering menutup mata melihat kisah hidup kami yang semakin sempit. Saat ini aku berusaha memejamkan mata hati agar rasa pahit hidup kami bisa menjadi manis.

Wahai pencipta manusia. Apakah engkau masih bisa mendengar? Aku yakin telinga mu masih sehat. Namun apakah doa-doa hamba masih pantas engkau dengar? Entah. Aku tak pernah lelah berdoa namun aku mulai bosan berharap kepada sesuatu yang misterius.

Wahai pencipta manusia. Ku dengar engkau penguasa paling tinggi dari  langit biru dan matahari. Ku dengar kuasamu lebih luas dari lautan biru dan ruang angkasa. Masih adakah keajaiban yang akan kau berikan kepada ku? Masih adakah keputusan mu yang bisa membuatku bahagia?

Wahai pencipta manusia. Tolong hamba, tolong hamba. Berikanlah keajaibanmu yang dahsyat kepadaku. Berikanlah hamba ini kepastian yang terindah.

Napas perempuan itu mulai terdengar berhembus cepat, seperti orang yang baru selesai lari cepat jarak jauh. Getar badan yang ditahan namun berubah jadi bergetar cepat. Wajah yang sedih bercampur marah seakan mengatakan sesuatu. Perempuan itu menghirup napas pajang lalu...

"Saaayyyaaaaanggg!!! Baaangunnn! Anak-anak kita masih kecil, jangan pergi. Ayo bangun sayang. Ini aku istri mu," jerit perempuan itu lalu memeluk tubuh suaminya berbaring yang lemah.

"Kamu harus kuat! Kamu harus lihat anak kita jadi sarjana, kamu harus lihat anak kita jadi pengantin, kamu harus gendong cucu kita yang lucu," ucapnya sambil menangis keras.

Terbayang jika suaminya yang sayang kepada anak dan istrinya gugur tinggalkan keluarga yang bahagia.

Apakah pasti hari esok menjadi lebih baik?

Apakah pasti ada pengganti yang lebih baik?

Apakah? Apakah? Apakah?

"Ibu, Maaf. Mari mohon ikut saya. Biar bapak cepat sembuh. Semoga ya bu," suara lembut seorang suster membujuk seorang istri yang sedang kritis harapan agar bisa melepaskan pelukan sayang dari suaminya yang juga sedang kritis hidup.

Dengan di papah oleh dua suster, perempuan itu di dudukan pada kursi kayu putih di lorong depan ruang gawat darurat.

Setelah menghapus air matanya perempuan itu mengambil foto usang dari dompetnya yang lapuk. Foto berdua saat menjadi pengantin baru. Sang suami memakai jas juga celana panjang bahan putih, sang istri berbusana kebaya putih dan bersarung batik bergambar bunga. Dengan perhiasan di kepala rambut konde dan hiasan mirip bintang berwarna emas.

Perempuan itu ingat saksi  yang hadir mengucapkan kata sah, tanda mereka resmi menjadi suami istri. Perempuan itu adalah saksi hidup tentang perjuangan sang suami untuk memberikan perlindungan kepada keluarga yang mereka impikan bersama. Saat berusaha mengemis agar ada uang hasil pinjamam ke sana dan ke mari.

Ada rasa bahagia selama tiga tahun kerja serabutan supaya ada uang tabungan di rumah, sang suami mendapat pekerjaan baru, walau tidak sesuai dengan pengalaman kerja lama dan gelar sarjananya. Namun sang suami bahagia karena mendapat pekerjaan tetap biar di gaji kecil. Baru dua bulan sang suami bekerja di perusahaan tersebut. Harapan sang suami  agar tidak ada lagi pemecatan karyawan.

PHK memang kejam!

Setetes air mata jatuh lalu mengalir di atas foto pengantin, di susul air mata ke dua yang menetes di atas lembar bergambar kebahagiaan.

Lalu kepada siapakah perempuan itu bercerita tentang kisah sedihnya?

Apakah mereka mau mendengar?

Atau mereka pura-pura bersikap baik?

Entah, yang pasti perempuan itu masih menangis tersedu di lorong sepi rumah sakit.

Doa dan doa juga doa.

***

Perhatian: jangan mau di tipu cerita fiksi, malu dong. hehe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun